GENAP enam tahun Jogja menjadi bagian dari diri saya. Enam tahun pula kisah indahnya tertoreh di setiap inchi sel otak kiri. Tak ada yang berubah, paras cantik kota nan hangatnya tawa adalah salah satu gambaran khas kota budaya ini. Rasa rasanya selalu tak pernah kehabisan alasan untuk tidak meninggalkannya. Tak pernah.
Namun di tahun ke enam ini pula, ada perasaan lain yang cukup menancap di benak. Bencana Merapi beberapa minggu lalu sempat mengubah kisah kisah saya itu. Walau memang sebetulnya, gempa di 2006 juga menjadi bagian dari sejarah saya tadi. Tapi kala itu gaung social media masih mencari bentuknya. Jalur komunikasi yang digunakanpun terasa biasa dan konvensional. Maka bentuk kontribusi onliner seperti saya pun sama dengan tenaga relawan lainya, yaitu bantuan fisik. Membantu dengan tenaga dan pikiran langsung.
Namun, 2010 bernapas beda. Gemuruh social media semacam blog, twitter, dan facebook begitu menggoda serta menjanjikan manfaat yang jauh lebih baik dari sekedar media eksistensi pribadi. Twitter misalnya.
Saya bersama teman teman komunitas twitter Fiksimini dan komunitas blogger Cah Andong bergerak melalui jejaring akun social media tersebut. Dalam keterbatasan 140 karakter itu, beragam komunikasi dilakukan. Baik dalam hal fundraising, pemetaan lapangan, hingga koordinasi mobilitas bantuan dan tenaga fisik relawan. Semuanya dilakukan dengan kicauan. Continue reading “Potret Kemanusiaan di Garis Waktu”