
Ketika pertama kali melihat lanskap Canberra dari pesawat udara, saya bertanya-tanya, di manakah letak kota ini? Ternyata benar, ketika mendarat, Canberra tak lebih sebuah kota kecil yang sepi. Udara dingin yang menembus kulit menyelimuti hari pertama saya kali itu. Disambut musim panas yang begitu lembab, membuat saya berpikir, ”Summer saja sedingin ini, apalagi Winter, ya?” Begitulah kira-kira kesan pertama saya terhadap kota yang penduduknya hanya sepersepuluh dari penduduk Jakarta. Dan sekarang, tak terasa sudah hampir dua bulan saya menghirup bersihnya udara dan heningnya ibu kota Australia ini.
MENJADI bagian dari The Peace Scholarship Program 2008 dari IDP Australia merupakan sebuah kesempatan luar biasa dalam hidup saya. Tidak terbayang dapat merasakan kehidupan dan budaya Australia yang begitu beragam. Tinggal bersama dengan mahasiswa dari berbagai manca negara dan merasakan bagaimana kehidupan mereka. The Peace Scholarship Program sendiri merupakan beasiswa yang diperuntukan bagi mahasiswa S1 yang terlibat aktif di komunitas sosial apapun. Komunitas yang diikuti tidak hanya terbatas dengan isu perdamaian saja, tetapi lebih luas tentang isu-isu sosial.
Dalam program ini saya belajar Bahasa Inggris pada program English Language Intensive Course for Overseas Student (ELICOS) di University of Canberra English Language Institute (UCELI), Australian Capital Territory selama satu semester. Saya tergabung dalam kelas EAP Purple (English for Academic Purposes) yang terdiri dari enam belas siswa dari 8 negara berbeda. Saya belajar banyak hal tentang bagaimana penggunaan Bahasa Inggris di bidang akademik. Mulai dari kemampuan menulis, membaca, mendengar, berbicara, diskusi, dan presentasi.
Di sini saya bertemu dengan teman-teman dari manca negara seperti Jepang, Cina, Iran, Arab Saudi, Vietnam, Korea, Inggris, dan tentu saja mahasiswa Australia sendiri. Dan saat ini saya tinggal di salah satu apartemen di Braddon, bersama mahasiswa international lainnya. Braddon sangat dekat sengan City dan sekitar 20 menit ke University of Canberra dengan naik bus.
Dengan naik bus, saya dapat mengamati bagaimana bentuk interaksi yang terjadi di bus. Masyarakat Canberra yang sarat aneka budaya memberikan kesan tersendiri bahwa apa yang terjadi di Canberra adalah sesuatu yang sangat berkontribusi terhadap perdamaian. Kehidupan yang sangat toleran di sini membuat siapa saja dengan latar kebudyaaan apapun merasa nyaman untuk tinggal.
Kota yang Lengang
Saya mengalami culture shock yang hampir sama dengan siapa pun yang terbiasa dengan keramaian ketika pertama kali tiba. Karena terbiasa dengan sibuknya Jogja, kini saya dihadapkan pada kota yang aktivitasnya dimulai pukul 9 pagi dan berakhir pada pukul 5 sore.
Sarana transportasi yang disediakan kota yang pada tahun 2007 berpenduduk tak lebih dari 339.000 jiwa ini adalah bus ACTION. Jadwal operasi bus ini tetap sehingga kita tidak boleh terlambat sedikit pun. Bus yang juga disediakan untuk kaum difabel ini beroperasi dari Senin hingga Jumat sampai pukul 6 sore dengan jadwal periodik tiap 5-15 menit sekali. Dan untuk layanan malam, bus beroperasi hingga pukul 11 malam. Sementara untuk layanan Sabtu dan Minggu, bus beroperasi hingga pukul 7 sore. Jadi, kita harus pandai mengatur waktu dengan terencana jika berpergian di malam hari. Lagi pula, pusat perbelanjaan dan layanan publik sudah tutup pada pukul 5 – 6 sore. Betapa bedanya dengan Jogja atau Jakarta yang kehidupannya mengalir 24 jam!
Selain itu, jarak antara satu subburb dengan subburb lainnya cukup jauh. Mereka dipisahkan dengan padang sabana dan tundra, bukan gedung-gedung bertingkat laiknya kota-kota besar. Semua bangunan baik fasilitas publik, gedung pemerintahan, pemukiman, pusat perbelanjaan, sekolah dan universitas, tertata dengan sangat baik. Hal inilah yang membuat kota ini terkesan sepi dan hening. Semua aktivitas berjalan pada waktu yang telah ditetapkan.
Canberra Multicultural Festival
Hal menarik yang saya temui ketika pertama kali datang adalah Canberra Multicultural Festival. Sebagai tradisi tahunan, kegiatan yang berlangsung pada tanggal 8-17 Februari 2008 ini selalu tak sepi pengunjung. Tidak hanya pengunjung domestik tetapi juga pengunjung internasional hadir untuk melihat berbagai kebudayaan dari seluruh dunia.
Festival ini sendiri diadakan untuk merayakan perbedaan dan keberagaman warga Australia khususnya di Canberra. Semua negara yang menjalin hubungan diplomatik dengan Australia turut berpartisipasi dalam festival ini. Baik berupa pertunjukan kesenian, masakan khas, pakaian nasional, dan sebagainya. Termasuk Indonesia, yang menampilkan Tari Saman dari Aceh, Tari Anging Mamiri dari Sulawesi dan Tari Serampang Dua Belas dari Riau.
Dalam acara ini, semua pengunjung yang datang dapat menikmati dan melihat ragam kebudayaan tersebut dengan gratis. Sementara makanan khas dari berbagai manca negara dapat dinikmati dengan harga terjangkau.
How Are You Going, Mate?
Awalnya saya bingung menjawab pertanyaan di atas. Namun, setelah beberapa hari, saya baru paham bahwa itu adalah cara mereka menyapa dan menanyakan kabar, bukan bertanya tentang tempat ataupun tujuan kita. Ya, itu adalah salah satu contoh dari sekian banyak bahasa slang di Australia selain no worries, share, dan you’re all right yang diucapkan dengan aksen Australia yang begitu kental. Perbedaan Bahasa Inggris – Australia dengan Bahasa Inggris – Amerika membuat saya sedikit kerepotan untuk mengerti di hari-hari pertama di sini.
Salah satu cara saya melatih bahasa yaitu dengan bergabung dengan beberapa komunitas internasional, salah satunya menjadi volunteer pada acara Starlightday yang dikhususkan untuk anak-anak difabel Australia. Selain itu, saya juga bergabung dengan Australian Red Cross dan PPIA-UC (Persatuan Pelajar Australia-Indonesia University of Canberra).
Hari Jumat di Yaralumla
Tahun 2006, Australian Bureau of Statistics mencatat terdapat sekitar 340.000 jiwa penduduk muslim Australia yang sebagian besar tinggal di kota-kota besar. Dan di setiap kota terdapat satu masjid yang menjadi pusat informasi muslim di sana. Satu-satunya masjid yang terdapat di Canberra adalah Abu Bakar Mosque di Yaralumla. Setiap Jumat, semua pria muslim baik penduduk maupun pendatang berkumpul memenuhi masjid. Tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga berfungsi sebagai sarana silaturrahmi. Selain itu, setiap Jumat sekali, para jamaah dapat membeli berbagai jenis makanan halal yang sebagian besar berasal dari Timur Tengah. Di masjid ini juga terdapat Islamic School of Canberra, semacam TPA yang diadakan seminggu sekali.
Namun, selain di Abu Bakar Mosque, sholat Jumat juga diselenggarakan oleh organisasi mahasiswa muslim di ANUMA (Australian National University Moslem Association). Sementara University of Canberra menyediakan bus khusus yang memberikan fasilitas gratis antar jemput mahasiswanya ke Abu Bakar Mosque. Dan menariknya, fasilitas ini tidak hanya disediakan pada hari Jumat biasa, tetapi juga jika Jumat tersebut bertepatan dengan hari libur atau non-perkuliahan.
Bertahan dengan Ke-Indonesia-an
Kesempatan belajar di negeri Kanguru saya manfaatkan semaksimal mungkin untuk menggali lebih jauh tentang makna kehidupan sosial antarbangsa. Perbedaan yang kita bawa di negeri orang bukan sebuah hambatan untuk berinteraksi satu sama lain. Justru perbedaan tersebut memperkaya ragam budaya yang telah ada di sana. Dan dengan karakter ke-Indonesia-an itulah martabat bangsa kita akan semakin dihargai dan dihormati.
Karena yang paling hakiki dari interaksi dan hubungan sosial manusia adalah hal-hal yang bersifat universal, yaitu cerita tentang kebaikan, toleransi, harga-menghargai, saling mengasihi dan menghormati. Bukan tentang siapa, agama, suku, ras, ataupun bahasa kita, karena kita adalah manusia. Itu saja. Salam damai dari Canberra!