Perhaps in time the so-called Dark Ages will be thought of
as including our own.
~Georg Christoph Lichtenberg~
We are living in a world today where lemonade is made from artificial flavors and furniture polish is made from real lemons.
~Alfred E. Newman~
SEPERTINYA kita sudah kehilangan peradaban. Tidak ada lagi pedoman atau semacam kredo yang mampu menggairahkan fungsi kemanusiaan kita. Sepertinya kita sudah lelah pada konstruksi dunia yang dikendalikan oleh beberapa orang saja. Apa itu kemajuan, bagaimana manusia seharusnya, atau apa yang tidak boleh dilakukan. Ya, semacam dekadensi kemanusiaan.
Dunia baru, Tuhan baru. Demikian saya menyebutnya. Konsesus dunia yang dihegemoni oleh pihak tertentu telah bermutasi menjadi Tuhan baru bagi dunia ini. Tidak ada lagi standar dosa dan pahala. Apa itu kebajikan, dan bagaimana sebuah cela sebegitu nista menindas.
Bagaimana mungkin pemaknaan atas sebuah fenomena hanya direstui dan diamini oleh segelintir orang saja, untuk kemudian digeneralkan? Sementara standardisasinya sendiri tidak berpihak pada konteks yang sarat bhineka.
Perdamaian misalnya. Konsep purba yang (awalnya) berkaitan dengan kasih sayang dan hidup berdampingan ini, selalu saja harus dicapai melalui tumpahan darah dan gelinang air mata. Jutaan raga meregang, ribuan bangunan luluh berantakan serta sanak keluarga tunggang langgang. Butuh berapa ratus harta benda lagi yang harus dikorbankan, demi sebuah perdamaian?
Sejarah Perang Dunia I dan II telah mengajarkan kita betapa perdamaian yang saat ini dinikmati adalah buah dari jutaan rudal dan ribuan korban. Dan yang lebih mengherankan, justru mereka yang bertikailah yang menjadi pemimpin saat ini. Maka bukan tidak mungkin semangat kekerasan itu bangkit lagi. Irak adalah contoh konkrit pengulangan sejarah dari kegagalan perdamaian yang diciptakan di atas kekerasan.
Belajar pada Thailand
KETIKA saya diundang untuk menjadi resource person pada International Training of Trainers di Bangkok, Thailand, bulan lalu (14-20 September 2006), saya menikmati perdamaian sesungguhnya. Betapa sebuah kudeta dilakukan dengan tanpa kekerasan. Sebagai aktivis perdamaian, saya salut sekaligus bingung. Cara-cara seperti ANV (Active Non-Violence) dipadukan dengan aksi heroik militeristik. Namun, tetap pada koridor perdamaian dan nirkekerasan.
Berbagai tank-tank berbaris rapi memadati jalan-jalan utama kota. Ratusan tentara berjaga-jaga di sekitarnya. Hari itu Bangkok menjadi sorotan dan perbincangan media Internasional. Berbagai kecaman hilir mudik. Protes dari negara-negara adikuasa serta beberapa negara tetangga bermunculan di media massa. Namun apa yang sebenarnya terjadi?
Saya, yang notabene warga asing di sana, bahkan, tidak merasakan ketegangan atau merasa dalam bahaya besar ketika kudeta berlangsung (19 September 2006). Objek-objek wisata dan jalan-jalan utama di Bangkok tetap ramai dengan turis asing yang menikmati eksotisnya kota. Para pemilik toko dan pusat perbelanjaan kota pun tidak menunjukkan sikap cemas yang berarti. Semuanya berjalan dengan normal.
Bahkan, setelah sampai di tanah air, kita dapat menyaksikan aksi kudeta tersebut malah dijadikan momen rakyat untuk lebih dekat mengenal tentara. Senyum sapa yang bersahabat, dan kesabaran para tentara untuk menjelaskan permasalahan, mengindikasikan betapa efektifnya komunikasi yang dilancarakan pihak militer Thailand.
Sejarah telah mengajarkan mereka. Belasan kudeta yang menyelimuti sejarah demokrasi Thailand menjadi pleajaran berarti bagi mereka. Demokrasi tidak harus dengan perang. Peradaban dibangun dengan semangat perdamaian dan kasih sayang. Dialog dan saling pengertian adalah konsep yang ideal untuk disematkan.
Training of Trainers: Usaha Pendekatan ANV (Active Non Violence)
TUJUH hari berada di Negeri Gadjah Putih putih itu, saya mendapatkan pelajaran berharga dalam memaknai perdamaian. Di samping mengenal langsung teman-teman dari tujuh negara (Amerika Serikat, Myanmar, Laos, Kamboja, Vietnam, Timor Leste, dan Thailand), saya juga mendapatkan hal baru dalam memandang sebuah konflik dan permasalahan di berbagai negara.
Saya juga berbagi pengalaman sejauh mana perkembangan dan kondisi konflik yang melanda Indonesia. Langkah-langkah apa saja yang ditempuh dan bagaimana memanaj konflik tersebut. Saya juga mempresentasikan Peace Generation dan Peace Camp. Dua hal di mana saya banyak belajar tentang perdamaian. Peace Generation dijadikan contoh konret di mana usaha-usaha desiminasi peace value dilakukan.
Belajar dari sana, tampaknya peace value perlu diajarkan sejak dini. Bahkan bila memungkinkan, menjadi bagian dari kurikulum pendidikan di Indonesia. Sejak SD hingga Perguruan Tinggi. Isinya tidak hanya pada tataran konsepsional saja. Tetapi juga tataran teknis, sehingga mudah untuk diaplikasikan oleh siapapun sekalipun anak sekolah dasar. Sehingga ke depan, konflik-konflik individu bisa dimanaj dengan baik oleh seseorang. Karena sesungguhnya akumulasi konflik individu dapat memantik konflik yang lebih besar.