DUA bulan lalu adalah momen paling dramatis dalam hidup saya. Momen ketika segenap energi terkuras habis karenanya. Pikiran, tenaga, hati, dan perasaan seakan berkonspirasi membajak diri saya untuk larut dalam memetakan prioritas hidup. Tak sia-sia memang. Akhirnya hidup di Jogja saya genapi selama 7 tahun saja.
Tepat di tengah April lalu saya pun hijrah ke ibu kota. Saya pikir 1,5 tahun bekerja di lembaga asing di Jogja sudah cukup menguatkan hati saya utnuk terjun ke sana. Menceburkan diri, dan ikut berenang bersama rekan rekan yg lebih dulu basah. Dan entah sampai kapan kita akan tiba di pulau kebahagiaan nantinya?
Sebetulnya keputusan ini merupakan plan B saya. Plan A yang gagal meluluskan saya untuk melanjutkan kuliah Master tahun ini saya paksakan untuk hijrah ke belantara beton itu. Tapi tak asal pindah, tentu keputusan meninggalkan Jogja harus dibayar dengan harga yang pantas di ibukota. Karena meninggalkan zona senyaman kota gudeg ini sungguh berat bukan kepalang. Ya, paling tidak pekerjaan baru tersebut sesuai dengan apa yang saya impikan. Sejalan dengan idealisme dan cukup mendukung pencapaian resolusi tahunan saya.
Di tempat yang baru ini, kesibukan saya yang dulu sarat dengan urusan akademik dan centang perenang persoalan mahasiswa asing, kini berganti dengan birokrasi dan berbagai kebijakan. Lembaga dunia sebesar ini membuat pekerjaan baru saya cukup kompleks dan memeras keringat. Apalagi jika berhubungan dengan pemerintah. Well, saya memaknainya sebagai tantangan dan ladang belajar. Di usia yang sudah seperempat abad ini, saya kira sudah waktunya untuk melangkah lebih jauh. Intinya sih keep moving on, toh untuk naik kelas, bukankah fase ujian adalah sarat mutlak yang harus dilalui?
Dan namanya juga hidup. Kita tak pernah tahu sampai di titik mana kita hingga. Rencana yang kita bangun tentu akan berubah seiring langkah yang kita ambil untuk mewujudkannya. Kita tak Ā pernah tahu bahwa kenalan di pinggir jalanlah yang justru membawa kita ke titik tertentu. Kita juga tak kan pernah tahu Ā bahwa semesta alam sesungguhnya turut merestui atau justru mengutuki. Selama kita terus berjalan, tentu keputusan keputusan selanjutnya akan terus menunggu untuk dieksekusi.
Akhirnya, dengan berbagai kompleksitasnya sebagai ibu kota, Jakarta is not bad laaaaah.
Well, kosan gw di Jogja masih terus gw bayarin hehe.. jd klo balik ke Jogja ada tempat singgah š
kalo sudah terlalu nyaman di satu tempat kadang malah ada yang aneh,,jadi pengen nemu tempat yang baru, new challenge š
Ya iyaalaaah memeras keringat,,pagi sore siang malem nge gym muluw lw :))
Betul bro! ayo kamu pindah cari yg laen haha..
gue udah berapa taun yak di jakarta? *ngitung*
eiyak, baru tau kalo fickry sama gue seumuran.. š *komen ga penting*
masa’ seumuran????? *gak terima*
Jakarta nyaman kok. Pendatang aja yang – menurut gue – gak bisa lepas dari zona nyaman di kota asalnya. Adalah oksimoron ketika teriak kalo jakarta ga enak dan begini-begitu tapi ujung-ujungnya nyari uang di jakarta juga :))
Betul! *uyel2 mamski*
berarti gue ngelarin skripsi dulu nih mas bro? š #ihik
itu wajin ain dwi.. lu klo blm lulus ya segitu gitu aje petualangannya š
di nyaman-nyamanin mas bro, tapi tampaknya saya harus gak betah dikampus deh… T_T
ahh, aku cinta jakarta kok Fick, makanya pindah kemari. š
keren ya pilihannya hihi..
jakarta sudah bertumpuk dengan tembok”,
pemandangan’a hanya sedikit ach…
terlalu ramai dgn kendaraan ,,
bikin udara gax segar..
he”…
kalo pestival jakarta
seru juga sich..
hahahaha..:)
aku pernah ke jakarta, tapi cuma sekali… š
gue boleh nanya ga ? itu foto diatas foto mas kan ? klo mau foto disitu gimana caranya ? š
@lilo: itu bukan foto saya kok. saya ambil di google. sumbernya saya taruh di akhir tulisan š