Posted in Komunikasi

Jurnalisme Infotainment: Antara Etika dan Fakta

Jurnalisme Infotainment

Infotainment tumbuh dan mulai menguasai tayangan televisi Indonesia menggantikan arena gosip yang pernah marak. Sepintas memang tidak berbeda gosip dan infotainment. Bedanya, infotainment merupakan gosip yang dibuat melalui penelusuran atau investigasi. Dikaitkan dengan jurnalisme, tampaknya infotainmen merupakan spesifikasi baru. Lahir di Indonesia setelah dipromosikannya investigatif reporting yakni jurnalisme yang menganut paham pendalaman. Berita investigasi merupakan berita lengkap dari sebuah peristiwa sebagai hasil penelusuran wartawan. Biasanya berkaitan dengan korupsi. Karena itu tanpa pengetahuan jurnalistik yang memadai, investigation reporting bisa menghasilkan berita prasangka, berita yang mungkin saja melanggar asas praduga tak bersalah. Berita seperti itu diharamkan oleh Kode Etik Jurnalistik di (KEJ) dan Kode Etik Wartawan (KEWI).
Sedangkan infotainment merupakan analog dari entertainmen yang bobotnya memang lebih ke arah hiburan. Biasanya berupa tayangan atau pemuatan tulisan/informasi yang berkaitan dengan kehidupan pribadi orang terkenal. Di negara Barat, terutama Inggris, hal itu biasa dilakukan koran kuning berbentuk tabloid. Justru berita eksklusif dari balik tembok istana itulah yang menjadi ciri khas tabloid. Di Indonesia dominasinya dipegang televisi.

Jurnalisme Kuning dalam Jurnalisme Infotainment
Istilah jurnalisme kuning (yellow jornalism) muncul pada tahun 1800-an. Ia muncul pada “pertempuran headline” antara dua koran besar di Kota New York. Satu dimiliki oleh Joseph Pulitzer dan satu lagi dimiliki oleh William Randolph Hearst. Ciri khas jurnalisme kuning adalah pemberitaannya yang bombastis, sensasional, dan pemuatan judul utama yang menarik perhatian publik. Tujuannya adalah untuk meningkatkan penjualan dan menaikkan oplah berlipat-lipat.
Jurnalisme kuning ikut andil dalam mewarnai dunia pers Indonesia, terutama setelah Soeharto lengser dari kursi presiden. Judul dan berita yang bombastis mewarnai halaman-halaman muka koran-koran dan majalah-majalah baru. Namun tampaknya, jurnalisme kuning di Indonesia belum sepenuhnya pudar. Terbukti hingga saat ini masih ada koran-koran yang masih menyuguhkan pemberitaan sensasional semacam itu.
Beberapa Teori dalam Jurnalisme Infotainment
Hubungannya dengan penelitian ini, peneliti mengangkat dua teori komunikasi massa, yaitu agenda setting model dan diffusion of innovation theory:
1. Agenda setting model
Teori ini dikemukakan oleh M.E. Mc Combs dan D.L. Shaw dalam Public Opinion Quarterly terbitan tahun 1972 yag berjudul The Agenda Setting Function of Mass Media. Mereka mengatakan bahwa jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk meenganggapnya penting. Mereka menjelaskan bahwa ada korelasi positif yang cukup signifikan antara penekanan berita dan penilaian berita oleh khalayak (Effendi, 1993: 287).
2. Diffusion of innovation theory
Teori ini muncul pada artikel yang berjudul The People’s Choice tahun 1944 yang ditulis oleh Paul Lazarfeld, Benard Berelson, dan H. Gaudet. Mereka mengatakan bahwa komunikator yang mendapatkan pesan dari media massa sanga kuat untuk mempengaruhi orang-orang. Dengan kata lain, ketika ada informasi baru dan inovatif, lalu disebarkan (difusi) melalui media massa, maka akan sangat kuat mempengaruhi massa untuk mengikutinya (Nurudin 2003: 177).

Teori agenda setting sesuai dengan pemikiran peneliti yang menduga bahwa peran media massa cukup besar untuk mempengaruhi pikiran khalayak melalui penekanan berita yang disampaikan. Media massa digunakan sebagai alat untuk mengonstruksi area kognitif audiensnya sehingga mereka mau mengubah pandangan-pandangan yang dianut ataupun menerima perspektif-perspektif baru.
Diffusion of Innovatin theory semakin mempercepat persebaran informasi. Teori ini menunjukkan bahwa media massa semakin mempercepat jalannya arus informasi hingga mencapai khalayak dalam jumlah yang besar. Inilah salah satu keutamaan media massa.

Posisi Dilematis

Merujuk pada arti sesungguhnya dari infotainment, yaitu informasi yang dikemas dalam balutan entertainment, maka sudah sewajarnya jika porsi informasi lebih banyak daripada porsi hiburan itu. Namun faktanya, kini inforainment justru lebih mengutamakan unsur hiburan dari pada unsur informasi. Ini terkait dengan kandungan informasi misalnya bobot informasi atau penting tidaknya informasi tersebut disampaikan kepada publik. Mengacu pada theory agenda setting, maka sebenarnya medialah yang telah mengonstruksi pikiran publik sehingga informasi yang sebenarnya tidak penting menjadi penting. Dalam teori yang dikemukakan oleh M.E.Mc Combs dan D.L. Shaw dikatakan bahwa jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Mereka menjelaskan bahwa ada korelasi positif yang cukup signifikan antara penekanan berita dan penilaian berita oleh khalayak (Effendi, 1993: 287). Dengan kata lain, media membuat sesuatu yang tidak penting menjadi penting, misalnya dengan penekanan atau porsi penayangan berita yang besar.
Inilah yang sebenarnya terjadi pada jurnalisme infotainment. Wartawan infotainment sebenarnya mengorek-orek berita yang tidak penting. Misalnya mengenai peceraian seorang artis. Tapi yang membuatnya menjadi penting adalah penekanan pada unsur artis/ figure yang ditampilkan serta frekuensi penayangan informasi tersebut. Terlepas dari unsur pentingnya informasi, hal yang demikian juga telah melanggar ruang privasi artis. Pelanggaran terjadi ketika sesuatu yang seharusnya berada pada ruang privat diangkat oleh wartawan dan tersebar ke ruang publik. Dan patut disayangkan, undang-undang yang mengatur hal-hal yang demikian belumlah cukup. Wajar jika terjadi pelanggaran di mana-mana.
Namun, sebenarnya hal tersebut juga tidak bisa sepenuhnya disalahkan kepada wartawan sebagai pelaku media. Karena dilema tersebut dibenturkan pada kerja-kerja profesional yang menuntut standardisasi kerja pers. Dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme, Bill Kovach menyebut salah satu unsur dan sarat penting sebuah peristiwa yang dapat dijadikan berita adalah adanya nilai berita yang salah satunya mengusung publik figur. Sehingga peristiwa apapun,-walaupun perihal yang sangat biasa, menjadi penting dan bernilai berita tatkala bersinggungan dengan kehidupan seorang public figur. Termasuk di dalamnya kehidupan artis yang telah merambah pada pemahaman seorang publik figur.

Multi-interpretasi

Celah yang ada dalam Undang-undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia ataupun undang-undang yang lain – menurut hemat penulis – bisa dimaknai sebagai betapa manusiawinya hukum di negara kita. Ketika seseorang telah terbukti bersalah pun, dia masih bisa melakukan pembelaan dengan menggunakan celah-celah tersebut. Selain itu, celah-celah inilah yang menjadi arena bermain para praktisi hukum di negara kita. Kiranya, tak ada penjelasan yang lebih masuk akal selain bahwa justru dengan ketercerabutan hukum seperti ini kita masih bisa mengotak-atik dan menjadikannya sempurna.
Menanggapi ketidaksejalanan antara pasal 14 ayat 2 dan pasal 21 di atas, memang pada dasarnya bagi kedua pihak yang disinggung dalam kedua pasal ini, baik dari pihak yang diberi hak mencari informasi (tersebut di dalam pasal 14 ayat 2) seperti yang dicontohkan dengan para wartawan infotainment maupun bagi sang nara sumber informasi (tersebut dalam pasal 21) atau dalam hal ini adalah para selebritis / public figure tidak ada yang bisa disalahkan sepenuhnya. Karena sekali lagi pokok permasalahan dalam hal ini kembali lagi ke ketidakjelasan dari content pasal-pasal itu sendiri yang sangat general menyebutkan batasan-batasan dari yang sebenarnya harus jelas batasannya. Seperti salah satu yang tersebut dalam pemaparan di atas adalah terkait dengan batasan mana yang disebut ranah pribadi dan mana yang disebut yang disebut dengan ranah publik selebritis yang pantas untuk dijadikan sebagai konsumsi publik. Jika keburaman batasan ini masih saja dipertahankan oleh pemerintah melalui isi dari pasal-pasalnya yang banyak memuat hal-hal yang bersifat kontradiktif, maka selama itu pula masalah-masalah akan banyak bermunculan tanpa jelas penyelesaiannya sebagai konsekuensi dari beragamnya kepentingan dari tiap-tiap pihak yang terlindungi oleh tiap-tiap isi pasal yang bersifat kontradiktif tersebut. Pertanyaannya sekarang, akan kita bawa ke mana kapal negara ini berlayar jika peraturan yang menuntun arah tujuannya tidak pernah tegas dan jelas memberi gambaran kepada nakhoda maupun para penumpangnya? Tentunya hal ini patut menjadi bahan pemikiran kita bersama pada umumnya dan bahan pemikiran bagi para pembentuk kebijakan pada khususnya.
Adapun terkait dengan kebrutalan dari para pencari informasi dalam “mengobok-obok” ranah pribadi dari sang selebriti sebagai konsekuensi dari ketidakjelasan batasan ranah pribadi dan publik yang dimaksud dalam pasal 21, tentunya hal ini sebenarnya tidak perlu terlalu dijadikan momok yang begitu menakutkan oleh para target sumber informasi oleh para wartawan infotainment tersebut. Karena ternyata pemerintah juga masih cukup berbaik hati terhadap para selebritis ini dengan menyediakan pasal 29 ayat 1 undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Di mana dalam pasal ini disebutkan bahwa”setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak miliknya”. Jika para selebriti ini benar-benar telah merasakan perlakuan dari para wartawan infotainment yang sudah diluar koridor yang mana menyinggung sisi-sisi privasi sang selebriti secara membabi buta, maka senjata pasal 29 ayat 1 ini dapatlah dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dengan harapan dapat memberi pelajaran kepada para wartawan infotainment yang telah menghalalkan segala cara untuk mendapatkan berita yang mereka inginkan.
Namun pada akhirnya, semua memang kembali kepada pribadi individu yang ada di dalamnya. Sedikit mengutip pendapat B.H Hoed dan Ahmad Munif, bahwa dalam masyarakat yang materialistis-hedonis ini, informasi makin diperlukan, dan bentuk serta perolehannya pun makin canggih. Semua upaya perolehan informasi dilakukan melalui kreasi yang hampir tanpa batas. Hanya tinggal satu yang masih perlu dijaga: etika yang benar-benar mengacu pada sikap profesionalisme yang sesungguhnya. Karena setiap profesi toh punya sendiri aturannya.

Author:

He calls himself a simple social butterfly as he frequently engages in social media such as blogs and micro blogging. Indonesian living in Singapore.

7 thoughts on “Jurnalisme Infotainment: Antara Etika dan Fakta

  1. hai. salam kenal.

    aku juga mulai cemas dengan program infotaiment di media2 sekarang, khususnya media elektronik.

    sangat bias dengan fungsi jurnalistik.

  2. honestly, gw gak baca artikelna…tapi, ngeliat dari jumlah kata yang super panjang…gw tertarik bwt ‘copy’ u/ bhan etika jurnal gw..hohoho..lumayan bwt refrens…thx

    tp, td siang gw ma ank” ngobrolin ttg ‘penting gak si ngeliat artis creambath di tipi a.k.a insert’…di jadiin berita 10 menit pula…

    hasil debat-sambil-ngunyah-sate ini, kita narik kesimpulan..”BOLEH”…mang bwt, ‘anak terpelajar nun cinta buku’..tentu aja nganggap klw it gak penting…tp, gmn dengan warga laen yg jadi target berita, a.k.a ibu” en pembantu…”name make news”…

    mungkin yg lebih ditekanin adlh jumlah siaran kali yah..”inftm sah kaya’ jamur”…dari pagi ampe malem pasti ada…trus, “artisny mau ap gak”..

    gw sendiri lbih prefer u/ ngebebasin semua berita untuk masuk…agak radikal emang..tp, ntar ad saat dimana masyarakat jenuh dengan pemberitaan tolol nun g penting…trus, peran masy jd fungsional d…hohoho…

    NB: hi, gw jg dr plg..tapi, skrg kul di komUI..

  3. salam…..

    saya Devi Kusuma Ariani, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Lampung..
    sekarang saya sedang menyelesaikan studi akhri saya, dan judul yang saya ambil berkaitan dengan Infotainment.. sebagai bahan referensi sejak beberapa bulan yang lalu saya mencari artikel yang berkaitan dengan infotainment
    tapi, karena keterbatasan buku yang berkaitan dengan infotaiment saya jadi sedikit kesulitan,sehingga saya harap anda mau membantu saya menjawab beberapa pertanyaan-pertanyaan saya, yaitu:
    1. karakteristik berita infotainment secara umu dalam media massa?
    2. karakteristik berita infotainment dalam media elekttronik (televisi, internet dan sms) dan media cetak (majalah, tabloid, koran)
    3. ciri-ciri berita dalam rubrik infotainment?
    4. ciri-ciri berita dalam tabloid infotainment?
    5. dan referensi buku yang berkaitan dengan infotainment?
    Saya sangat berharap anda mau memberikan jawaban atas pertanyaan saya tersebut.. dan saya juga sangat berterima kasih atas waktu yang bapak luangkan untuk membaca, membalas dan mengirimkan jawaban pertanyaan saya.
    Demikianlah perkenalan dan permintaan ini saya ajukan..
    Terima kasih

    Devi Kusuma Ariani
    Mahasisawa Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Lampung

    email : vie_vericity@yahoo.com

  4. sebetulnya gak ciri2 khusu yang membedakan antara berita infotaintment dg berita umum. yg jelas berita infotaintment memiliki objek yg memiliki nilai entertaintment buat pembaca. itu aja..(bisa jadi karena orgnya, eventnya, atau apa lagi ya..hehe..)

    coba baca buku analisis wacana.

  5. Googling ttg jurnalisme dan infotainment. Eh, malah nyasar ke blog sampeyan.

    Bagi saya infotainment itu tdk layak disebut jurnalisme. Bahkan tdk ada yg pantas disebut wartawan di sana. Terlalu banyak pelanggaran privasi dan lompatan konklusi yg tdk berdasar.

    Mungkin dg kasus Luna Maya skg. Tdk hanya REFORMASI HUKUM yg dirasa penting, tp juga REFORMASI MEDIA.

  6. If you live in Weston Florida and plan on refinancing an existing mortgage or get a new mortgage beware of scam artist Tulio J. Rodriguez. This so called “Mortgage & Finance Specialist” will tell you just about anything to get your business. His group of scavengers “Real Estate Agents and Mortgage Specialists” lie through their teeth to take your money.

Komen dong kakak...