Posted in Diary, Travel

Mengandaikan Malioboro di Palembang

Saya berani bertaruh tidak ada satu warga Palembang  pun yang tidak pernah makan pempek. Pun demikian dengan gudeg, tak satupun warga Jogja yang paling tidak pernah mencicipinya. Sementara suka atau tidak suka, itu urusan lain. Paling tidak mereka pernah mencoba. Toh selera seseorang tak selalu berbanding lurus dengan di mana ia bermukim, bukan?

Lalu sebenarnya, apa sih yang ingin saya utarakan melalui kedua jenis makanan tadi? Kelezatannya  kah? Keunikan rasa bla bla bla? Atau sesuatu yang menyangkut sejarahnya?

Tidak sodara sodara.  Ini bukan tentang cerita makanan atau selera lidah. Persoalan perut saya kira cukuplah diulas dan dibincang oleh Pak Bondan saja, si Bapak Maknyus di salah satu televisi swasta itu.

Di sini, saya ingin membincang ihwal potensi wisata. Yang mungkin makanan tadi menjadi satu dari sekian unsur atraktif sebuah keunikan budaya dari sebuah kota. Kota Palembang dan kota Jogja yang menjadi pembandingnya.

Jadi, ini adalah sesuatu yang lebih luas dari sekedar persoalan perut. Ini tentang masa depan. Tentang cita sebuah kota yang diimpikan. Tentang kota Palembang yang kini masih di awang-awang. Karena terus terang, dari sepengalaman saya lebih lima tahun di tanah Jogja, Palembang hanya dikaitkan dengan makanan yang berbahan dasar ikan. Itu saja. Atau paling tidak, jembatan Ampera dan sungai Musinya. Selebihnya, adalah cerita bahwa Palembang merupakan satu dari sekian kota yang berlangganan masuk di televisi swasta.

418906010_7fd7d6a69a
Rujak mie dengan pempek ikan. 🙂

Lalu apa poin tulisan saya ini?

Sebetulnya sederhana. Ini berangkat dari persoalan pribadi saya. Soal di mana saya kerap kesulitan jika diakrabi pertanyaan tentang Palembang dari beberapa teman di kota Gudeg. Semasa mahasiswa misalnya. Seringkali beberapa rekan berujar, “di Palembang ada apa aja? Nanti kalo aku ke sana diajak keliling-keliling ya?”

Kontan saya kebingunan. Saya tidak tahu harus bercerita apa. Referensi wisata saya di kota sungai itu hanya Jembatan Ampera, Benteng Kuto Besak, dan pempek saja. Tidak ada lagi.

Ya, mungkin saya salah karena pengetahuan objek wisata di kota kelahiran sendiri tak saya kuasai dengan benar. Karena terus terang selama saya hidup di sana sebelum saya merantau tidak begitu banyak pengetahuan wisata yang saya dapati. Baik melalui pendidikan formal maupun sekedar dari pergaulan.

Namun, jika berbicara tentang Jogja. Sodara tepat jika bertanya pada saya. Semasa mahasiswa dulu, saya juga bekerja sebagai Tour Guide. Jadi seluk beluk objek wisata kota pendidikan ini cukup saya kuasai. Mulai dari wisata alam, wisata pendidikan, wisata budaya, hingga wisata kuliner, insyaAllah saya akrabi.

Hal ini memang dapat dimaklumi. Di samping Jogja memang ditunjang dengan berbagai objek wisata yang layak dikunjungi, potensi wisata kota ini memang digarap secara serius oleh pemerintah setempat. Sehingga wajar jika Jogja menjadi kota kedua untuk tujuan turis lokal maupun manca Negara setelah Bali.

Lalu apa kabar Palembang?

Nah, itulah yang sebenarnya ingin saya sampaikan. Setiap kota memiliki keunikan dan keistimewaan tersendiri. Jika Jogja kaya akan unsur budayanya, maka Palembang pun saya kira tak kalah. Namun yang menjadi persoalan adalah dalam hal penggarapannya.

Proyek penggarapan Palembang Kota Air dengan memaksimalkan potensi wisata sungai Musi beberapa tahun yang lalu, kini tidak begitu terdengar gaungnya. Dan saya sendiri merasa tidak melihat efeknya secara maksimal bagi perkembangan wisata kota ini.

Menurut saya hal ini kurangnya promosi dan publikasi. Selain itu, hal yang tak kalah penting adalah belum adanya objek unggulan yang digarap secara serius. Jika kita berbicara kota Jogja saja misalnya, selalu tidak terlepas dengan kawasan belanja wisata Malioboro. Di sana, dapat kita temui dengan mudah berbagai souvenir khas Jogja serta suasana yang sangat khas Jogja. Dengan kendaraan tradisional Andong, ataupun sentra perbelanjaan Batik misalnya.

benteng-kuto-besak
Benteng Kuto Besak di malam hari.

Nah, Palembang saya kira belum memiliki sentra kawasan semacam itu. Jika kita meliirik daerah Tangga Buntung atau Benteng Kuto Besak, saya kira kedua objek tersebut jika digarap secara serius dan maksimal dapat menjadi projek percontohan kawasan wisata. Di sana dapat dibangun beberapa pusat perbelanjaan wisata yang sifatnya masif dengan tujuan memaksimalkan potensi wisata. Di dalamnya dapat menampung banyak hal seperti pusat makanan khas Palembang, pakaian khas songket, dan beberapa pertunjukan seni yang selalu ditampilkan dalam jangka waktu tertentu.

IMG_0143
MAsjid Agung Palembang

Pendek kata, semua terintegrasi dalam satu lokasi yang berdekatan. Ya, saya ingin menyebutnya seperti Malioboro-nya Palembang. Sebuah lokasi di tepi sungai Musi di mana di sana juga dijadikan kawasan khusus untuk pejalan kaki.

Dan pada akhirnya, apa yang saya citakan akan kembali pada apa yang disebut promosi, publikasi, dan kemasan. Ketiga hal tersebut sangat penting dalam konsep pemasaran jasa. Berbagai saluran promosi dapat dimaksimalkan dilakukan terus menerus. Tidak hanya sebentar tetapi berkelanjutan dan berkesinambungan. Baik melalui media konvensional speerti media cetak maupun elektronik hingga media baru seperti internet dengan fasilitas media sosialnya.

Jika hal tersebut akan benar adanya, rasanya tidak sabar untuk pulang rantau. Kalau bisa lebaran ada di sepanjang bulan. Sehingga indahnya sore di tepi Musi dapat dinikmati tak hanya sekali setahun. Dan tak hanya Jogja, mungkin Katon Bagaskara pun akan terinspirasi menggambarkan suasana Palembang di salah satu lagunya kelak. Entah kapan…

Salam, dari kota Gudeg.

Sumber gambar:

Author:

He calls himself a simple social butterfly as he frequently engages in social media such as blogs and micro blogging. Indonesian living in Singapore.

80 thoughts on “Mengandaikan Malioboro di Palembang

  1. Aku pikir setiap propinsi memiliki potensi pariwisata yang menarik namun kadang kita tak jeli untuk melihatnya. Aku bilang propinsi karena selama ini potensi pariwisata kerap diasosiasikan dengan ibukota propinsi. Sebagai contoh di DIY sendiri, daerah-daerah “pinggir” macam Kulon Progo, Gunung Kidul, Sleman, dan Bantul masing-masing punya ciri khas di potensi pariwisatanya. Hal yang serupa mungkin juga bisa ditemui di kabupaten di Propinsi Sumatera Selatan, jangan hanya terkonsentrasi di kota Palembangnya saja.

  2. mnrt gw sih semuanya harus dimulai dari orang palembangnya sendiri..

    1. komunitas2 apapun itu harus sering ngumpul di tempat tertentu. secara ga langsung, ini bakal jadi word-of-mouth marketing yang efektif.
    2. harus ada publikasi tentang komunitas dan tempat2 itu. ga usah ngarepin koran, majalah, atau apalah. social media dulu aja. blog, microblogging, dll..

    gw rasa sih awalnya dari situ dulu 😀

  3. mari kembangkan potensi yang ada didaerah kita masing-masing, tanpa harus terkena virus chauvinisme,
    pengembangan potensi daerah harus diniatkan untuk mewujudkan perkembangan nasional,

    selamat berjuang,

    kami pun mojang jajaka kota hujan sedang berupaya mengembangkan bogor sebagai bagian penyususun yang tak terpisahkan potensi budaya nasional,

    🙂

    postinganya panjang mas, saya bacanya loncat-loncat, langsung pada pusernya,

    *toink toink tonk

  4. tambahin lagi ahhh.. ada pulau kemaro.. ada rujak mie.. ada mie celor.. ada martabak HAR.. nyam nyam nyam.. yuk mau bikin proyek malioboro ala Palembang 😉

    btw, salam kenal..

  5. Pertama kali (‘n sampe sekarang belum pernah lagi 😀 ) ke Palembang 25 thn y.l. (ayayay… dikau masih di awang2, Kie… 😛 )…
    yang selalu teringat adalah tumpukan sampah nan menggunung di tepi jembatan Ampera! 8)
    Waktu itu sekalian maen ke Plaju & Sungaigerong…

  6. Rujak mie dengan pempek ikan nya bikinn laper.
    aku orang jogja mas belum pernah ke Palembang, ngeliat Benteng Kuto Besak sepertinya tempatnya menarik,jadi pengen berkunjung ^^. kunjungan pertama saya, salam kenal..!!

  7. Palembang memang mempunyai prospek yang bagus ke arah seperti yang sobat bahas. Tapi aksesnya yang gak ada, maksudnya mungkin manusianya yang tidak memikirkan itu. Salut untuk sobat yang telah memberikan masukan berupa postingan artikel yang betul-betul mengajak berpikir untuk kemajuan palembang. Salam kenal dari sesama wong kito galo..

  8. Sebagai orang Palembang yg tinggal di Jogja, buatku palembang selalu bikin kangen selain karena aku lahir disana n suasananya juga pempek dan martabak har duh…laper 🙂

  9. Wacana yang sangat bagus untuk membuat sebuah kawasan di Palembang untuk menjadi Malioboro Palembang. Ya… semoga dari sebuah wacana yang brilian ini suatu saat nanti bakal terwujud.

    Dan saya sepakat kalo daerah sepanjang aliran Musi dijadikan Malioboronya Palembang, selain bisa belanja souvenir khas Palembang juga bisa menikmati wisata air di Sungai Musi….

  10. Haduh itu rujak mie sama pempeknya jangan dipajang donk.
    Mulut ini rasanya jadi kepengen makan tuh pempek.hhhhmmmm…
    Wach lama tak pulang ke Palembang.
    Pempek vs Gudeg ??
    hmmmm
    hmmmm
    hmmmm
    hmmmm
    2 – 1 lah

    haaa’

  11. Wong Palembang jugo mas?? hahhaa… Ehm, sebenarnya sih semenjak tahun 2005 udah banyak perubahan di Palembang. Sosialisasi juga sudah begitu banyak. Mungkin gaungnya baru bterdengar di Indonesia Barat saja, belum menyentuh Indonesia Timur. Di Kota Palembang sendiri memang tidak terlalu banyak objek wisata, tapi tersebar di beberapa wilayah di Sumatera Selatan. Yang jelas Palembang sudah lebih baik dari yang dulu, baik dari segi kebersihan dan keamanannya…(ups kepanjangan komennya).. Salam kenal…

Leave a reply to fickry Cancel reply