Most horror movies are certainly that.
~Brendan Francis
Everything is for the eye these days – TV, Life, Look, the movies. Nothing is just for the mind. The next generation will have eyeballs as big as cantaloupes and no brain at all. ~Fred Allen
SATU hari menjelang lebaran di kotaku – Palembang. Setelah berbelanja untuk keperluan pangan lebaran, saya sengaja melewati bilangan Sudirman – kawasan terramai di Kota Pempek ini. Tanpa sengaja menolehkan kepala sembari kedua tangan tetap berpegangan dengan kemudi motor, mata saya tertuju pada baliho besar milik gedung bioskop Cineplex Palembang. Empat baliho yang terpajang tersebut dipenuhi oleh empat poster besar senada: film-film hantu, yaitu Pocong 3, Kuntilanak, Lawangsewu, dan Tusuk Jelangkung 3. Hohoho…tampaknya hasrat horror saya akan terpenuhi sehorror ramainya judul-judul film tadi menghiasi papan baliho gedung bioskop itu. Dan saya, tidak ada pilihan!
Ada apa dengan bangsa ini? Mungkin pertanyaan retoris ini bukan hal baru di dalam dinamika perfilman tanah air. Riuh rendah perkembangan pefilman tanah air jika dilihat secara kuantitatif memang mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Namun, jika kita bebicara film sebagai sebuah karya kompleks yang tidak hanya sekedar gambar bergerak, maka banyak aspek lain yang perlu dikaji. Ada banyak hal yang perlu dikoreksi. Mulai dari aspek cerita, alur, bahkan ide yang terkesan memaksa. Belum lagi jika dilihat aspek teknisnya; pencahayaan, acting, aksesories, hingga artistiknya. Itu baru sampai level pra dan produksi. Jika sampai tahap evaluasi pasca produksi, maka genaplah cecoreng yang menghiasi wajah perfilman nasional.
Selain itu, film tidak hanya sebuah karya seni murni visual, tetapi seperti yang dsinggung di atas, ia merupakan karya kompleks dari sebuah kerja yang melibatkan banyak aspek dan bidang. Film merupakan cangkokan dari berbagai teknologi dan ragam seni. Ia juga merupakan hasil akhir dari perpaduan kecanggihan teknologi fotografi dan rekaman suara. Seni teater, seni musik, seni rupa, seni sastra, seni arsitektur, hingga seni suara bersatu padu menciptakan harmonisasi dalam bentuk maha karya.
Nah, celakanya sejarah perfilman tanah air tidak menunjukkan perkembangan yang begitu berarti dari segi teknis. Kalaupun ada, tidak semassif perkembangan jumlahnya. Maka tidak ada pilihan ketika para pemilik rumah produksi memilih sebuah tema yang dianggap marketable. Ketika satu musim dianggap musim cinta, maka tema-tema yang diangkat dalam film pasti bersinggungan dengan nuansa cinta dan kasih sayang. Dan begitu pun dengan tema horror yang menjadi trendsetter para sutradara film tahun ini. Para produser hanya berpikir, “yang penting modal balik, dan untung melangit!!”. Kalau sudah begitu, penonton tak ubahnya seperti sapi yang hanya manut kepada majikannya.
Ekonomi Film
Why should people go out and pay money to see bad films
when they can stay home and see bad television for nothing?
~Samuel Goldwyn
“Nyeni boleh, tapi kalo gak menjual? Sama aja!”. Demikian kalimat seorang kawan yang market oriented dalam sebuah dialektika ringan. Seperti itu juga tampaknya yang tengah menggeliat di benak insan perfilman tanah air. Apapun akan dilakukan demi meraup pundi-pundi uang dari kantong penonton. Apa yang saat itu dirasakan sebagai apa yang diinginkan penonton, maka sejumlah pemilik modal akan menyokong dana sebuah produksi film dengan tema senada. Katakanlah pada satu tahun terdapat sejumlah judul film dengan tema tertentu laris di pasaran, maka dalam waktu yang dekat bahkan tidak sampai satu tahun, dapat dipastikan akan diproduksi pula sejumlah judul film dengan tema yang tidak jauh berbeda!!
Hal ini juga disebabkan segmen penonton yang dituju oleh para pembuat film. Sebagian besar target yang menjadi sasaran mereka adalah kaum muda yang secara psikologis masih membutuhkan hiburan. Berdasarkan angket penonton di Bandung yang dilakukan pada 1988 dan 1989, sebagian besar penonton film Indonesia adalah berusia antara 15 – 35 tahun (90%) dengan tekanan usia pada 20 – 25 tahun (40%), lelaki (57%) dan wanita (43%) yang berpendidikan SMA dan perguruan tinggi sebanyak 42% sedangkan 50% mengaku abstain. Mereka menonton film Indonesia lebih dari sekali selama sebulan (59%) dan ada 12% yang menonton lebih dari 5 kali dalam sebulan. Jenis penonton inilah yang dijadikan lahan segar menarik untung. Dengan memanfaatkan hasrat akan hiburan, dengan tanpa memperhatikan kualitas isi, para pembuat film berlomba-lomba meraup rejeki. Tidak peduli kualitas, yang penting kuantitas.
Film yang Mencerdaskan dan Kontributif
Banyaknya film yang beredar di tanah air sebetulnya memberikan kabar gembira akan bangkitnya perfilman nasinal. Konon katanya, tahun 2002 ketika film “Ada Apa dengan Cinta” heboh, merupakan awal bangkitnya perfilman tanah air. Ya, setidaknya dari segi kuantitas, hal ini menunjukkan kembalinya semangat untuk berkreasi di kalangan insan perfilman. Namun, ada hal lain yang terlupakan. Film kini sekan-akan dilupakan sebagai salah produk media massa. Sebagai media massa, ia memiliki audiens sebagai sasarannya dan juga pesan khusus yang harus disampaikan. Pesan inilah yang seharusnya menjadi bagian terpenting dalam proses komunikasi sebuah media massa. Karakteristik pesan harus disampaikan secara maksimal. Baik segi isi, jenis, maupun karakter pesan itu.
Di sinilah sebetulnya film memiliki peran yang cukup signifikan dalam memberikan pendidikan bagi penontonnya. Pesan yang disampaikan dalam bentuk tema atau dialog-dialog yang membangun alur cerita secara tidak langsung memberikan pendidikan kritis bagi masyarakat. Film yang mengangkat realitas social seperti kemiskinan, kelaparan, bencana alam, korupsi dan praktik politik yang tidak sehat tentunya akan memberikan pelajaran berarti bagaimana seharusnya masyarakat bersikap. Kesadaraan akan permasalahan bangsa akan membangkitkan kesadaran nasional untuk bangkit dan memperbaiki kondisi bangsa.
Namun, jika tema-tema film yang diangkat hanya berputar pada persoalan cinta dan hantu, maka sampai kapanpun bangsa kita akan menjadi bangsa yang kerdil. Bangsa pengecut yang tidak siap mengahadapi realitas social yang terjadi. Tema-tema percintaan yang sering diangkat merupakan cerminan atas kondisi masyarakat yang selalu bemimpi akan negeri para peri yang hidup dalam kenyamanan dan kemewahan. Padahal realitas social yang terjadi di Negara ini jauh dari gambaran itu. Belum lagi maraknya film-film yang bertema horror juga menggenapi kondisi masyarakat kita yang memrihatinkan. Dengan dalih marketable, ada hal lain yang lebih penting dari kondisi masyarakat kita, yaitu pendidikan. Mengapa masyarakat kita lebih memilih film-film yang bertema horror dan cinta? Jawabannya adalah pendidikan. Sistem pendidikan kitalah yang mampu menjawabnya. Dalam hal ini, pemerintahlah yang seharusnya mengambil porsi lebih dalam mengambil kebijakan terkait. “Daun di Atas Bantal”, “Denias: Senandung di Atas Awan”, dan “Berbagi Suami” adalah contoh-contoh judul film yang tidak hanya menghibur tetapi juga mencerdaskan.
Peran Pemerintah
Salah satu factor yang memperngaruhi rendahnya mutu perfilman nasional adalah rendahnya kualitas teknis karyawan film. Pada tahun 1977/1978-1987/1988 tercatat 937.700.000 penonton dan hingga tahun 1992 menurun sekitar 50 persen. Di Jakarta dari rata-rata 100.000 – 150.000 penonton, turun menjadi 77.665 penonton tahun 1991. Demikian juga dengan jumlah film, dari rata-rata 75 – 100 film pertahun, tahun 1991 / 92 menurun lebih daripada 50 % tahun 1993 surat izin produksi yang di keluarkan Deppen RI, sampai bulan Mei baru tercatat 8 buah film nasional untuk diproduksi.
Berikut tabel jumlah produksi film nasional sejak tahun 1987.
1990 |
1991 |
1992 |
1993 |
1994 |
115 |
57 |
31 |
27 |
32 |
Pelajaran beharga teresbut seharusnya menjadi evaluasi bagi pemeintah dalam memaksimalkan fungsinya sebagai regulator dalam dunia penyiaran. Jangan sampai sejarah kelam dunia perfilman tanah air terulang lagi. Pemerintah seharusnya turut serta mengambil kebijakan untuk mengintervensi para pembuat film. Yang paling penting yang perlu dilakukan adalah kebijakan untuk menentukan genre dan kualitas teknis sebuah film. Sehingga ke depan, kualitas film yang diatur oleh pemerintah dapat dijadikan jaminan mutu kualitas perfilman nasional. Semoga!!
hmm…
sebuah analisa yang cukup menarik…
makasih bro atas pencerahannya
menarik,
tapi saya suka film horor… 🙂