KETIKA berbicara masalah penyiaran maka tidak terlepas kaitannya dengan bidang keilmuan komunikasi massa. Penyiaran dalam konteks ini tentu saja berkonsekuensi dengan jumlah masa yang besar sebagai khalayaknya. Penyiaran juga merupakan salah satu aspek media dalam tataran ranah publik. Hal ini dikarenakan penyiaran menggunakan gelombang yang merupakan hak orang banyak.
Penggunaan gelombang tersebut tentu saja akan menimbulkan banyak pro dan kontra apabila tidak diimbangi dengan regulasi yang jelas. Maka, untuk kebaikan bersama dan menjaga keseimbangan pelaksanaan hak-hak individu di ruang sosial masyarakat tersebut, penyiaran juga memiliki undang-undang sebagai regulator untuk membatasi bentuk kebebasannya. Undang-undang tersebut berfungsi untuk memberikan oksigen terhadap kebebasan penyiaran. Namun, masalah muncul ketika timbul pertanyaan bagaimana dengan PP yang akan menerapkan kebijakan tersebut dan apa yang menjadi parameter atau batasan kebebasannya?
RPP Penyiaran: Refleksi Kebebasan Pers?
Berdasarkan UU Penyiaran No.32 Th 2002 yang menyebutkan bahwa media dan penyiaran adalah sebagai ranah publik, sehingga intervensi pemerintah dibatasi, maka sebagai penggantinya, terbentuklah semacam komisi yang akan bertugas menangani segala macam urusan yang berhubungan dengan penyiaran yaitu KPI (Komisi Penyiaran Indonesia).
KPI yang dirancang oleh pemerintah sebagai alat regulator justru kini dipertanyakan peran dan fungsinya? Sudah sejauh mana fungsi KPI berperan dalam mewujudkan cita-cita Undang-Undang penyiaran? Seajuh mana keberpihakkan KPI atas kerja-kerjanya? Ataukah KPI justru sama halnya seperti masa orde baru yang hanya sekedar tameng belak?
Tekad pemerintah untuk tidak ikut campur dalam urusan penyiaran di tanah air yang diaplikasikan dengan membentuk KPI tersebut, nyatanya, tidak seindah semangat dan tekadnnya. Bahkan, semangat pemerintah tersebut ternyata tidak tampak dari segi yuridis atas kebebasan pers. Untuk mengejahwantakan UU Penyiaran No.32 Tahun 2002 tentang kebebasan pers tanah air bahkan bisa dikatakan (hampir) tidak ada.
Semangat ini, seperti yang diutarakan Agus Sudibyo (Peneliti ISAI, Koordinator Lobi Koalisi untuk Kebebasan Informasi), akan hilang begitu saja mengingat adanya ketimpangan dalam PP Penyiaran. PP Penyiaran yang merupakan salah satu bentuk regulator penyiaran ternyata mengandung klausul-klausul yang justru bertolak belakang dengan semangat demokratisasi seperti yang telah diperjuangkan dalam UU Penyiaran No.32 Tahun 2002.
RPP Penyiaran didominasi semangat meneguhkan eksistensi pemerintah, terutama Kementerian Negara Kominfo, sebagai pemegang kontrol dunia penyiaran. Pasal- pasal RPP Penyiaran menegaskan dan memerinci wewenang pemerintah hampir di semua lini media penyiaran: perizinan, jangkauan siaran, program siaran, kepemilikan saham, modal asing, cross ownership dan penentuan sanksi administratif.
Dalam RPP Penyiaran tersebut hampir sama sekali tidak ada semangat demokratisasi dan wujud nyata dari cita-cita pemerintah untuk tidak ikut campur dalam urusan media dan penyiaran. Pasal-pasal yang ada di dalamnya justru malah mengindikasikan bahwa KPI merupakan badan yang cenderung pro pemerintah. Ia, bahkan, memperkuat intervensi pemerintah yang dalam hal ini adalah Menteri Negara Komunikasi dan Informasi. Hal ini tentunya tidak sama dengan apa yang tercantum dalam Undang-Undang. Karena semua urusan yang menyangkut media dan penyiaran tetap berkiblat pada kebijakan otoritas Menteri Negara Komunikasi dan Informasi.
Peran dominasi Menteri Negara Komunikasi dan Informasi dalam urusan media dan penyiaran ini hampir tidak menyisakan ruang kerja KPI bentukan pemerintah sendiri. Justru sebaliknya, KPI seolah seperti penonton di depan panggung. Fungsinya tidak lebih sebagai penonton, memberikan evaluasi seperti halnya Litbang (penelitian dan pengembangan) yang bekerja untuk membantu kerja-kerja Kementerian Negara Kominfo. Atau KPI hanya dibayangkan semata-mata sebagai wakil masyarakat, semacam NGO, yang memberi masukan-masukan kepada pemerintah, tanpa ada jaminan bahwa masukan-masukan itu akan diakomodasi.
Ketimpangan yang terdapat dalam RPP tidak hanya sebatas itu saja. Fungsi KPI sebagai lembaga regulator yang seharusnya bisa mengeluarkan surat keputusan yang berkaitan dengan masalah penyiaran justru dilemahkan oleh Peraturan Menteri (Permen) seperti yang terlihat dalam ketentuan tentang arsip siaran dan materi iklan. Ketidakberesan yang terdapat dalam RPP Penyiaran ini membuat pertanyaan besar di benak kita, bagaimana mungkin PP bertentangan dengan Undang-Undang? Sementara pemerintah juga masih memepertanyakan kerja KPI.
Pers Bebas yang Merakyat
Perjalanan pers tidak terlepas dari kontrol masyarakat. Segala macam pemberitaan tentang berbagai fenomena di tanah air tentu saja akan mendapatkan feedback yang cukup signifikan dari masyarakat, khususnya masyarakat yang kritis terhadap gejala-gejala di level pemerintahan. Hal ini membawa konsekuensi dinamis terhadap pers dalam perkembangannya sebagai alat kontrol sosial.
Sebagai alat kontrol sosial pers berusaha memaparkan fakta yang menarik di tengah-tengah ruang dengar dan ruang baca masyarakat. Ia dengan segenap unsur di dalamnya membawa wacana tertentu yang membentuk diskursus tidak hanya di ranah publik tetapi juga ruang pribadi masyarakat.
Tak dapat dipungkiri bahwa sejarah kemerdekaan pers Indonesia tak dapat dipisahkan dari sejarah bangsa dalam merebut dan mengisi kemerdekaan. Pasang surut kemerdekaan yang dialami pers Indonesia, senada dengan pasang surut sejarah bangsa. Jauh sebelum proklamasi kemerdekaan upaya mewujudkan kemerdekaan pers telah dimulai. Pada abad ke-19 tercatat sedikitnya 19 orang tokoh wartawan (1919-1920) antara lain Soewardi Soerianingrat, Sarimin, Parada telah dibuang pemerintah kolonial.
Seperti yang pernah dikatakan oleh Mohammad Hatta bahwa kemerdekaan pers itu harus ada agar kemauan rakyat dapat dipupuk dan diperkuat. Sedangkan Suardi Tasrif, tokoh pers dan ahli hukum menengarai bahwa di mana pun kemerdekaan pers berada, paling tidak ada tiga syarat pokok yang harus dipenuhi yaitu tidak perlu izin penerbitan pers, tidak ada sensor, dan tidak ada pembredelan pers.
Menurut Oemar Seno Aji, terdapat dua belas macam catatan mengenai kemerdekaan pers yang akan diterapkan di Indonesia, antara lain tidak mengundang lembaga sensor sosialis, kemerdekaan bukanlah tidak terbatas, tidak mutlak dan bersyarat. Kemerdekaan pers dalam lingkungan batas limitatif dan demokratis dengan menolak tindakan preventif adalah lazim dalam negara demokratis dan karena itu tidak bertentangan dengan ide pers merdeka (hlm. 22-23). Dari segenap pernyataan tersebut di atas, pertanyaan yang muncul kemudian adalah, seberapa besar koridor undang-undang “kemerdekaan pers” yang akan dibuat di Indonesia dan bagaimana aplikasinya?
Upaya mewujudkan kemerdekaan pers Indonesia sudah cukup panjang dengan rentang waktu lama, penulis Dr. H. Krisna Harahap membagi upaya tersebut dalam lima periode mulai masa kolonial ( sampai dengan 1945), era demokrasi liberal (1945-1959), era demokrasi terpimpin (1959-1966), era orde baru (1966-1998), era reformasi (1998- sekarang).
Semoga kemerdekaan pers Indonesia tidak semata menjadi polemik bangsa ini pada level birokratis saja, tetapi juga berada pada ranah rakyat ājelataā. Sehingga apa yang diperjuangkan oleh pegiat insan pers tanah air tidak semata ādimilikiā oleh mereka, insan pers saja, tetapi juga bagi rakyat, āmerekaā yang hanya bisa melihat, membaca, dan mendengar āhasilā kerja-kerja mereka dengan peluh dan tinta. Semoga! []
fick, aku baca tulisan ini buat referensi tugas pers ye…….
Salam kenal. Kami ingin memperkenalkan DICTUM, majalah kajian media pertama di Universitas Sumatera Utara. Media ini didirikan pada Maret 2007 lalu di bawah Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, dan kini telah terbit edisi ke-3. Dikelola di bawah Pusat Kajian Media dan Komunikasi, Dictum berharap menjadi bacaan alternatif mengenai pendidikan media dan kebebasan berekspresi bagi masyarakat dan dunia akademis komunikasi.
Anda bisa melihat weblog kami di: dictum4magz.wordpress.com.
Besar harapan kami Anda memberikan masukan besar dan berarti.
Salam
Vinsensius Sitepu
(redaktur)
Blog kamu keren bgt. Saya suka.
pertahankan ya…
jangan lupa mampir ke blog kami…
btw, kalau kamu berminat tulis sebuah artikel mengenai media, jurnalisme atau komunikasi massa untuk majalah DICTUM, ya…..
terima kasih
Salam,
Vinsensius
(redaktur)
Oh, ya. balasannya kirim aza ke e-mail saya:
vinsensius_stp@yahoo.co.id
haiiii..tolong dunk,,jelasin secara lebih rinci mengenai kebebasan pers di Indonesia.. ne ku da tugas..
tolong yahh
tolong dong jelasin tentang perkembangan pers di era demokrasi liberal 1945-1959??? ditunggu banget ya….