Posted in Komunikasi

Teknologi Komunikasi dan Sosial Budaya

     Teknologi digital berkembang sedemikian pesatnya. Berbagai temuan dan perkembangan IT yang tidak pernah terbayangkan oleh generasi sebelumnya kini berada di depan mata. Kemajuan teknologi jarak jauh seperti PDA, telepon selular, komputer, kamera, yang semuanya telah dapat memanfaatkan teknologi internet membuat kehidupan manusia menjadi lebih mudah sehingga tak ada lagi jarak pembatas di bumi ini. Semuanya dapat dijangkau tanpa harus berada di tempat yang dikehendaki.

Kemajuan teknologi digital ini pun besar pengaruhnya terhadap media penyiaran. Segala aspek kehidupan manusia di bidang ekonomi, sosial, dan budaya turut terkena imbasnya. Inovasi dan penemuan teknologi merupakan titik tolak bagi perkembangan media penyiaran.

Kemampuan teknologi jarak jauh memungkinkan sistem media penyiaran lebih mudah dalam mentransmisi pesan-pesannya kepada audiens. Perkembangan TV kabel memungkinkan pihak televisi tidak perlu membuang milyaran rupiah hanya untuk membangun tiang-tiang pemancar di pelosok-pelosok desa. TV kabel memungkinkan audiens dapat mengakses siaran melalui internet. Hal in tentunya dapat menekan cost production televisi tersebut.

Di sisi lain, perkembangan TV kabel sebetulnya dapat mematikan perkembangan stasiun televisi lokal. Bahkan, kuantitas pesawat televisi pun akan terreduksi seiring maraknya komputer pribadi, karena masyarakat dapat mengakses siaran melalui komputer pribadi tersebut.

Selain itu distribusi barang dan jasa (yang berada pada ranah ekonomi) menjadi semakin mudah. Sehingga pemerataan ekonomi dan pembangunan yang disokong oleh kemajuan teknologi digital ini dapat mewujudkan keadilan dan kemakmuran suatu bangsa. Sebagai contoh, di kota Yogyakarta sendiri, telah menerapkan teknologi digital dalam mengkomunikasikan nilai-nilai nasionalisme dan pembangunan. Segala bentuk pengaduan masyarakat di bidang ekonomi dapat disampaikan melalui SMS (Short Message Service) atau telepon langsung ke Walikota melalui program interaktif yang digelar oleh radio UNISI.

Penggunaan internet yang kian massif telah membawa nilai-nilai tersendiri dari suatu wilayah geografis ke wilayah geografis lainnya. Sehingga tidak ada lagi batas tegas antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lain. Ini membuat dunia menjadi mengglobal di mana di sana terdapat kebudayaan cyber tersendiri.

Orang akan dengan sangat mudah mengetahui kebudayaan bangsa lain hanya dengan berlangganan Indovision, atau hanya dengan mengoperasikan internet. Menonton MTV juga berarti melihat representasi kebudayaan barat yang telah mengglobal. Komunikasi interaktif yang berisi muatan-muatan sosial budaya juga mempengaruhi perkembangan media penyiaran yang disokong oleh kemajuan teknologi digital. Sehingga budaya face to face di dua wilayah yang sangat berjauhan kini bukan lagi sesuatu yang mustahil.

Secara umum dampak ekonomi, sosial, budaya teknologi digital terhadap media penyiaran sangat kompleks. Berbagai aspek multidimensional saling berkaitan dengan kehidupan masyarakat.

    Kaitan antara televisi dengan upaya untuk menumbuhkan identitas nasional

Muatan-muatan yang ada di televisi juga berperan dalam pembentukan karakter atau identitas nasional suatu bangsa. Acara-acara yang menceritakan tentang kebudayaan nasional juga berperan dalam menumbuhkan identitas nasional. Televisi, melalui tayangan sinetronnya telah membentuk karakter tersendiri tentang kebudayaan nasional. Walaupun sebetulnya hanya kebudayaan lokal tertentu saja yang diangkat. Misalnya sinetron-sinetron yang diproduksi oleh H. Mandra yang merupakan representasi etnis Betawi yang merupakan salah satu bentuk identitas nasional.

Tata pergaulan yang masih menjunjung tinggi nilai ketimuran juga kerap ditunjukkan di televisi melalui iklan-iklan sederhana. Seperti iklan Indomie yang mengeksplor budaya nusantara dengan bhineka tunggal ika-nya, dan kekayaan alam Bunaken yang pernah ditayangkan di RCTI juga merupakan salah satu bentuk implementasi pencitraan terhadap identitas nasional.

Melalui tayangan tentang kebudayaan nasional tersebut, audiens secara tidak langsung akan dapat mempersepsikan identitas nasionalnya. Banyaknya bentuk-bentuk representasi kebudayaan lokal dan kekayaan alam hayati, serta tata krama yang berlaku di Indonesia melalui televisi membentuk realitas sosial di dalam realitas televisi.

    Alasan mengapa sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai program infotaintment

Tradisi masyarakat Indonesia yang tengah berkembang saat ini menuntut berbagai macam pilihan untuk memaknai kemajuan. Menurut Murdock, salah satu muatan siaran yang banyak menarik perhatian audiens adalah yang berkaitan dengan kebutuhan hidup, mimpi-mimpi akan kehidupan yang serba instan dan glamor.

Sajian infotaintment yang banyak ditayangkan di stasiun-stasiun televisi swasta banyak menjanjikan hal-hal tersebut. Infotaintment ini berbentuk gosip, hiburan, musik, yang semuanya dibawakan oleh artis-artis idola. Selain itu kehidupan atau realitas televisi yang menjanjikan banyak kenikmatan materi pun bertanggung jawab atas kecenderungan masyarakat kita mengkonsumsi infotaintment tersebut.

Namun, hal ini tidak dapat digeneralisasi, artinya tidak hanya pihak media melulu yang dijadikan terdakwah dalam kasus ini. Budaya dan tradisi masyarakat kita pun tentunya dapat ditinjau ulang. Feodalisme dan sistem hierarkis yang mengakar dari zaman kolonialisme dulu tentunya berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat Indonesia sekarang. Kita masih secara tidak sadar terhegemoni oleh kekuatan yang lebih besar.

Sistem kapitalisme pun sebenarnya ada di balik kenikmatan materi yang dijanjikan oleh televisi. Pencapaian status sosial yang tidak sehat kian menumbuhkembangkan budaya-budaya instan. Cepat kaya, dan memperoleh ketenaran dalam waktu yang sangat singkat serta mimpi-mimpi inilah yang kerap membentuk imaji utopis di banyak benak audiens akan realitas televisi. Namun, argumen ini juga tidak dapat digeneralisasi kepada banyak audiens. Artinya kita harus melihat segementasi audiens berdasarkan usia, jenis kelamin, latar belakang pendidikan yang mungkin berkorelasi positif terhadap frekuensinya menonton infotaintment.

    Yang dilakukan agar muncul representasi ras, etnis, dan gender yang adil di televisi

Banyak pencitraan yang dilakukan di media massa khususnya televisi tentang ketidakadilan mengenai ras, etnis, dan gender. Misalnya tentang pencitraan ras dan etnis Betawi dan Tiong Hoa. Sinetron-sinetron yang banyak ditayangkan di stasiun televisi swasta berperan besar dalam mengonstruksi nilai dan sikap terhadap etnis Betawi dan Tiong Hoa tersebut.

Sebagai contoh, etnis Betawi yang direpresentasikan dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan diidentikkan dengan masyarakat paguyuban. Sistem sosial yang dibangun adalah kekeluargaan yang masih sangat menjunjung tinggi adat Betawi. Cara berpakaian yang masih tradisional, budaya pencak silat, dan cara berbicara yang sangat khas membentuk pandangan tersendiri bagi penonton untuk menilai karakter etnis Betawi tersebut.

Etnis Tiong Hoa pun banyak direpresentasikan sebagai orang yang sukses, pelit, dan kaya di banyak sinetron. Representasi etnis Tiong Hoa dapat dilihat dalam film Ca Bau Kan karya Nia Di Nata yang merupakan film dari Novel Remi Sylado. Orang Minang juga selalu diidentikkan dengan para pedagang. Sementara etnis campuran (indo) selalu dikaitkan dengan orang yang cantik atau tampan, kulit putih, bersih, kaya, dan selalu mendapatkan peran-peran utama. Wajah-wajah indo kerap menghiasi televisi kita baik di iklan, sinetron, maupun reality show. Misalnya Okan Cornelius. Model berdarah China – Turki ini merasa sangat laku di pasaran. Melihat wajah indo laris di Indonesia, membuatnya melirik ke tanah air setelah lama tinggal di Kanada (Kompas, 16 Oktober 2005). Begitu pun yang dialami Seryozha Reza Maulana (24) yang juga sempat tertimpa stereotype kalau wajah indo itu kaya. Sehingga ia banyak tawaran untuk memainkan peran-peran menjadi orang kaya (Kompas, 16 Oktober 2005).

Media massa khususnya televisi turut berperan dalam mengonstruksikan citra seorang perempuan di dalam masyarakat. Televisi yang seharusnya menjadi media untuk menyelesaikan konflik dan polemik bias gender ini justru berada pada wacana patriarkhis yang syarat laki-laki. Muatan-muatan di televisi bahkan ditentukan oleh laki-laki dengan memposisikan perempuan sebagai objeknya. Perempuan banyak sekali diidentikan dengan pekerjaan di dapur, kasur, dan sumur. Perempuan-perempuan selalu dikaitkan dengan masakan, kecantikan, anak, rumah, kelembutan, dan keindahan (Irwan Abdullah, Sangkan Paran Gender, 1997: 7).

Dikotomi domestik-publik pun menegaskan betapa perempuan terkekang pada ranah domestik. Ia tidak bisa merambah ranah publik dengan kemampuan yang dimilikinya. Sehingga untuk melakukan hal-hal di ranah publik menjadi suatu kesulitan baginya. Contoh lain dapat dilihat dari tayangan film kartun Doraemon atau Sailormoon. Tokoh ibu Nobita di serial Doraemon selalu diidentikkan dengan pekerjaan ke pasar dan memasak di dapur. Sementara Sailormoon- pahlawan wanita, sekalipun ia memiliki kekuatan luar biasa, ia tidak akan bisa mengalahkan lawannya sebelum dibantu oleh Tuxedo Bertopeng, sang kekasih hati. Artinya ada banyak bias gender dalam pencitraan perempuan di berbagai tayangan televisi, walaupun hal tersebut dibungkus oleh pemaknaan keadilan gender yang belum matang.

Yang dilakukan agar tidak ada lagi stereotype dan ketidakadilan dalam reprenstasi etnis dan gender di televisi adalah hendaknya muatan-muatan yang ditayangkan di televisi lebih varian. Peran-peran sosial yang selama ini direpresentasikan di televisi baik melalui iklan maupun sinetron hendaknya ditinjau kembali. Ada baiknya memunculkan ide-ide segar dan membanting setir peran yang biasanya dimainkan oleh etnis tertentu.

Sebagai contoh, etnis Sunda yang direpresentasikan oleh tokoh Kabayan yang identik dengan kemalasan mungkin diganti tokoh pengusaha kaya yang dermawan. Hal-hal seperti ini memang unik dan awalnya menggelitik. Karena frame yang dipakai oleh masyarakat tentang suatu etnis sudah sedemikian mengakarnya.

Selain memperkaya ide-ide tentang etnis dan gender, pihak media sendiri pun harus mulai mengevaluasi kerja-kerjanya. Karena sangat memungkinkan profesi-profesi di media juga sangat bias gender. Misalnya profesi kameramen yang notabene banyak dilakoni oleh laki-laki. Secara psikologis, kameramen yang men-syuting perempuan akan memposisikan objeknya di level inferior, dan sangat memungkinkan pelecehan terhadap kaum perempuan. Dari sini hendaknya ke depan akan banyak kameramen perempuan yang akan bekerja di televisi.

Sumber-sumber :

Azhar, Akhmad Junaedi. (2005). Pemberitaan Sensitif Gender, Sumbangan Besar Mewujudkan Demokrasi

Hanitzsch, Thommas. Realitas dan Kajian Media. Newsletter Kunci Kultural Studies

Irwan, Abdullah. (1997). Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Julaistuti, Nuraini. Majalah Hai dan Boyish. (8 september 2000). Newsletter Kunci Kultural Studies

Murniati, Nunuk. (2004). Getar Gender. Yogyakarta: Indonesia Tera

Rajab, Budi. Pencitraan Perempuan dalam Media. Pikiran Rakyat. (26 Januari 2005)

Suhendra, Tommy. Bias Gender di Televisi. (18 September 2004). Pikiran Rakyat

Author:

He calls himself a simple social butterfly as he frequently engages in social media such as blogs and micro blogging. Indonesian living in Singapore.

4 thoughts on “Teknologi Komunikasi dan Sosial Budaya

  1. itu memang benar, masyarakat kita memang gila akan teknologi sehingga komunikasi antar individu pun jadi kurang atau tali persaudaraan jadi renggang

Komen dong kakak...

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s