Posted in Cerpen

Johan di Kawasan 13 Ilir

Pagi itu, cuaca sangat cerah. Awan-awan bergelantungan di langit. Sementara mentari pagi sudah bertengger di cakrawala sana. Tak biasanya, Johan bangun pagi. Ia ingin memulai hari ini dengan semangat baru, senyuman baru, dan harapan baru. Sebagai  supir. Supir angkutan kota di Palembang. Jurusan Lemabang-Sayangan.

Sebelum mandi, ia sempat bercerita dengan isterinya kalau semalam dia bermimpi. Mimpinya cukup aneh, menurutnya. Jarang-jarang dia bermimpi seperti itu. Bahkan bisa dikatakan tidak pernah. Ia bermimpi membeli sehelai kain putih. Entah untuk siapa dia membelinya. Pokoknya dia membeli kain putih itu di pasar, lalu menyerahkannya pada isterinya. Tanpa mengetahui akan digunakan untuk apa kain itu. Untuk membuat pakaian? Sekadar lap lantai? Ia sungguh tidak mengerti.

Ah, Bang. Itu cuma bunga tidur. Jangan terlalu dihiraukan. Anggap saja mimpi indah,” isterinya menjelaskan.

Ia lalu segera beranjak ke kamar mandi. Kamar mandinya sangat kecil. Sekira 2 x 1,5 meter. Padahal tinggi tubuhnya sekira 180 cm. Sangat mengganggu dan tidak nyaman untuk dia. Alasnya terbuat dari semen yang sudah rapuh, sedangkan pintunya terbuat dari seng tipis yang sudah bolong dan berwarna kecoklatan. Kadang-kadang malah sengnya terbuka karena engselnya sudah lepas dan berkarat. Sehingga untuk mandi, ia harus menutupi tubuh bagian bawahnya dengan kain basah.      

Johan hanyalah seorang supir angkot. Ia, bersama isteri dan anak tinggal di Palembang. Ia tinggal di kawasan 13 ilir. Sebuah kawasan yang dikenal sarat kriminal. Atau malah gudangnya preman besar di Palembang. Daerahnya kumuh, sampah berserak di mana-mana. Anak-anak akrab bermain dengan baunya. Wajar jika tahun ini, kota ini mendapat peringkat satu sebagai kota terkumuh di tanah air. Ya, sebuah pemandangan yang tidak lazim. Entahlah, mengapa Pemerintah Kota tidak berniat membenahi daerah itu. Mungkin karena sudah kewalahan. Atau justru mereka yang tinggal di sana lebih nyaman dengan keadaan seperti itu. Rumah gubuk yang berhimpit-himpitan, jalan setapak yang becek, serta lorong-lorong yang gelap. Sangat tidak sehat. Wajar saja di sana banyak melahirkan tangan-tangan kriminal. Karena konon katanya, hanya di dalam tubuh yang sehatlah terdapat jiwa yang sehat.

Isterinya, Yanti, hanyalah penjual pempek. Selain mahir membuat  pempek, ia juga pintar memasak. Aneka sayuran, kue-kue khas lebaran, kerap ia buat atas permintaan tetangganya. Ya, kadang-kadang tetangganya minta dibuatkan. Untung ia pintar memasak, kalau tidak, mungkin ia tidak akan memiliki pekerjaan. Maklum, apa sih yang bisa diharapkan dari ijazah SD?

Mereka berdua memiliki seorang anak. Namanya Deni. Saat ini, Deni duduk di kelas empat SD. Sekolahnya dekat dengan Pasar Tigobelas Ilir. Juga dekat dengan rumahnya. Ia hanya cukup berjalan kaki kalau ke sekolah. Lumayan, hemat ongkos. Deni sangat nakal, bandel, tapi sebetulnya anaknya baik dan pintar. Tidak seperti kebanyakan anak-anak lainnya yang suka mencuri. Deni, walaupun nakal, ia tidak pernah mencuri dan berbohong. Memang, Yanti sangat hati-hati dalam mengasuh anaknya. Ia sadar bahwa lingkungannya sangat rentan dalam mempengaruhi perilaku anaknya yang masih kecil itu. Ia tidak mau anaknya seperti suaminya.

Johan memang lelaki unik. Ia cukup disegani di kampungnya. Ia adalah mantan narapidana yang baru ke luar ketika menjelang pernikahannya dengan Yanti. Walaupun mantan napi, ia tidak sewenang-wenang dan membuat keributan. Ia malah menjaga kampung itu. Bisa dikatakan preman yang baik hati. Lucu juga.

Bagi keluarga, ia adalah seorang bapak yang bertanggungjawab. Ia banting tulang demi menafkahkan isteri dan anaknya. Namun, satu hal yang tidak disenangi Yanti. Yaitu kebiasaan buruk suaminya yang senang minum minuman keras. Dalam keadaan mabuk, suaminya itu kadang berbuat hal-hal yang jauh dari perkiraan akal sehat.

Pernah suatu subuh, ia tiba-tiba terbangun dari tempat tidurnya. Sebetulnya ia tidak benar-benar tidur. Ia cuma bergulingan di kasur kapuknya. Sementara Yanti masih terlelap. Maklum, semalam ia baru mabuk-mabukan dari menonton organ tunggal di sebuah pesta pernikahan di kampungnya. Dalam keadaan mabuk,  ia tiba-tiba memasuki kamar adik iparnya, Linda. Linda memang numpang tinggal seatap dengannya. Ketika tangannya menyentuh kepala Linda, Linda tersentak dan terkejut. Tapi Johan tidak melakukan apa-apa sebetulnya. Tanpa berkata-kata,  ia balik lagi ke kamarnya semula. Hal tersebut ternyata disampaikan Linda ke kakaknya. Darah Yanti mendidih. Namun, setelah panjang lebar berdiskusi, Yanti memaafkannya. Karena Johan betul-betul tidak sadar dengan khilafnya itu.

****

Selepas mandi, Johan segera mengenakan pakaian. Ia mengenakan kemeja lusuh berwarna putih. Kemejanya tidak diseterika. Karena seterika yang mereka miliki belum sempat diperbaiki. Sementara untuk bawahannya, ia mengenakan jeans biru yang warnanya sudah kusam. Di bagian lutut jeans itu, tampak tempurung kakinya yang kurus menonjol ke luar.

Yakin kamu mau narik1 angkot? Aku dak tega nian2 melihat kondisimu. Tubuhmu masih letih, bang!” Yanti memngingatkan suaminya itu.

Memang semalam, ada sebuah pertunjukan organ tunggal di kampungnya. Anak laki-laki teman dekatnya baru saja melangsungkan pernikahan dan mengadakan pesta semalam. Kesempatan itu tentu saja dimanfaatkan Johan untuk bersenang-senang. Mabuk-mabukan sudah barang tentu dilakukan bersama teman-temannya. Maklum, hitung-hitung hemat pengeluaran untuk makan malam.

Berjoget ria mengikuti alunan musik dangdut adalah ritual wajib di tiap pesta semacam itu. Tidak ada yang mau ketinggalan. Segenap warga kampung itu turun ke jalan meramaikan suasana. Mulai dari anak-anak sampai ibu-ibu. Bahkan, kakek-kakek renta pun ikut bergabung. Entah apa yang ada di kepala kakek-kakek tersebut. Setiap menit adalah goyangan dan kenikmatan dunia. Siapa yang mau menolak, bukan?

Yanti, tentu saja ikut untuk mendampingi Johan. Namun, ia bukan larut dalam keremangan malam, justru di sana ia bertugas menjadi isteri yang sangat setia. Di sana ia tidak ikut mabuk, ia malah menjaga suaminya. Kalau-kalau nanti ada musuh suaminya yang datang ketika Johan sedang mabuk. Sudah menjadi kewajiban Yanti untuk menjaga suaminya itu. Memang  terkadang Yanti capek melakukan hal ini. Tapi mau bagaimana lagi, ia sangat mencintai suaminya. Menurutnya, walaupun suaminya pemabuk, ia adalah suami yang penuh tanggungjawab. Sedikit pun tak pernah Johan memarahi ataupun main pukul.

Pulang dari pesta itu tubuh Johan sangat panas. Maka ketika sampai di rumah ia langsung minta dikerik. “Tuh kan tadi sudah aku katakan jangan banyak minum,” nasihat Yanti padanya. Johan cuma diam saja. Tidak berkata sedikit pun.

****

Pagi itu, walau dalam keadaan yang lemas, Johan bertekad untuk tetap narik angkot.

Nanti siang kamu mau makan apa? Biaya Deni nanti bagaimana? Kalau aku tidak narik hari ini, aku tidak yakin Pak Yusuf mau meminjamkan kita uang lagi,” jelasnya.

Tapi kamu kan masih sakit, Bang. Jangan khawatir nanti kita makan apa. Aku masih punya uang sepuluh ribu untuk beli nasi bungkus buat nanti siang,” Yanti menanggapi.

Sayang, sudah tiga minggu aku tidak narik. Kerjaku cuma duduk-duduk di rumah. Aku malu nian dengan tetangga. Mumpung ada angkot kosong yang tidak beroperasi, jadi bisa aku manfaatkan saja. Lumayanlah, kalau-kalau nanti banyak penumpang,” kilahnya.

Ya sudah men cak itu kendak kau. Ati-ati be3!”

Johan lalu melangkahkan kakinya. Rumahnya terletak di dalam lorong yang sempit. Untuk sampai di pinggir jalan, butuh waktu lima menit berjalan kaki. Ia melangkah gontai penuh semangat. Setelah tiga minggu tidak narik, kesempatan ini harus ia manfaatkan. Ia tidak mau menyia-nyiakannya begitu saja. Walaupun cuma menjadi supir pengganti.

Johan memang memiliki kebiasaan mabuk. Namun, ia tidak pernah membeli minum-minuman keras itu dengan uangnya sendiri. Semuanya ia dapatkan gratis tis tis. Semua teman-temannya selalu mentraktir dia. Bahkan tiap malam. Apalagi ketika tiga minggu kemarin. Ketika dia tidak ada pekerjaan sama sekali. Karena menurutnya, dari pada uang dibelikan minuman, lebih baik diberikan kepada isterinya saja. Ya, perilaku yang unik juga.

****

Di rumah, Yanti membangunkan Deni. Johan kecil itu sangat lelap sekali tidurnya. Sehingga semalam, Johan dapat leluasa pergi ke pesta pernikahan anak teman dekatnya itu.

Den, bangun. Kamu sekolah, kan?” tanya Ibunya seraya mengelus-eluskan tangannya ke kepala Deni.

Ayo mandi sana,” imbuhnya.

Sementara di pinggir jalan, sambil menunggu angkot, Johan terlihat duduk-duduk di atas kursi kayu. Kursi itu panjang. Terbuat dari damar tua yang sedikit kecoklatan. Tebal kayunya sekira tiga centimeter. Sementara kedua sisinya tidak terdapat pegangan tangan. Ia bersandar di kursi itu. Sementara matanya siaga sambil menjaga angkot yang lewat. Kata pak Yusuf, angkot yang akan ia kendarai pagi ini sedang dibawa Amin. Dan pagi ini akan diserahkan padanya. Johan duduk saja. Duduk saja pekerjaannya dari tadi. Sementara Amin pun belum juga tiba.

Dalam kesendiriannya, Johan teringat mimpinya semalam. Oh, bukan semalam. Tapi tadi pagi. Karena ia pulang dari pesta itu jam dua pagi. Di dalam mimpinya, ia cuma membeli kain putih. Warna putihnya sangat putih. Polos. Tak ada jahitan. Ia membelinya di Pasar Kuto. Pasar yang letaknya tak jauh dari rumahnya. Namun, anehnya, ia tidak membeli kain itu di Pasar Tigobelas Ilir. Padahal pasar tersebut letaknya lebih dekat. Persis dekat rumahnya. Mungkin sekitar 50 meter. Ia tak tahu mengapa.

Udara pagi itu cukup hangat. Tidak begitu dingin. Cuaca mentari sangat bersahabat. Mendorong semangat seseorang yang ingin memulai kerja. Dijamin, tak akan malas. Kita akan senang hati ketika disambut sinarnya. Namun aneh, pagi ini, belum tampak satupun yang berlalu-lalang. Bahkan lorong yang ia lewati tadi sepi. Belum ada yang lewat satupun.

Dua, tiga, empat, enam, delapan, dua puluh, seratus satu, angkot berwarna kuning  itu belum juga datang. Namun, tiba-tiba sebuah angkot muncul dari kejauhan. Ukurannya semakin membesar. Tampak benar mata Johan berbinar. Ketika angkot itu tepat di depannya, binar itu segera menguap. Berganti senyum kecut. Ternyata bukan Amin yang berada di depan kemudinya. Tapi Dahlan, musuh lamanya.

Senyum sinis tersungging di sudut mulut Dahlan. Ia tak sendiri di dalam angkot itu. Tapi bersama dua orang temannya. Di tiap lengan mereka, tergenggam balok kayu yang lumayan besar. Ya, Dahlan adalah musuh lama Johan. Ia pernah dipermalukan Johan ketika ia membuat keributan di kampung sebelah. 

Johan kaget. Ia tidak tahu harus berbuat apa-apa. Ia bahkan tidak membawa senjata apapun. Yang ada di pikirannya adalah kursi kayu yang ia duduki yang akan menjadi pertahanannya nanti. Padahal, sebelum ia pergi tadi, Yanti telah mengingatkan dia untuk membawa pisau dapur. Ya, sebagai jaga-jaga katanya. Dan tepat, kini, alasan Yanti terbukti.

Dahlan bersama dua temannya itu langsung turun dari angkot mereka. Tanpa basa-basi mereka bertiga sekonyong-konyong langsung mengeroyok Johan. Pukulan pertama langsung jatuh ke pelipisnya. Namun, johan langsung melakukan perlawanan. Mata Dahlan pun sempat ia sobek dengan pisau Dahlan sendiri ketika ia mengunci pergelangan tangannnya. Namun, sesaat kemudian. Kepalanya ditimpuk oleh besi hitam oleh teman Dahlan. Johan langsung menjerit kesakitan. Tiba-tiba tangannya dipegangi. Lalu sambil memegangi matanya yang sobek, Dahlan mengeluarkan pisau yang terselip di pinggangnya. Mata pisau itu serta merta menghujam perut, dada, dan pinggul Johan berkali-kali. Lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, sebelas. Ganjil. Dahlan menghujamkan pisau itu sebelas kali ke tubuhnya. Johan langsung melemah. Pertahanannya roboh. Ia tersungkur ke tanah.

Melihat Johan yang sudah tidak berdaya, Dahlan dan kedua temannya langsung pergi. Angkotnya melesat begitu saja. Anehnya, pagi itu, di depan lorong itu, tidak ada siapa-siapa. Dengan sisa kekuatan yang dimiliki, Johan bangkit. Tangan kanannya memegangi perutnya yang sudah sobek. Sementara tangan kirinya mengapai-gapai ke depan. Ia bermaksud pulang ke rumah, memberi tahu orang dan teman-temannya.

Di tengah perjalanan pulang, sebelum sampai di rumah Johan langsung terkapar, mulutnya berbusa. Ia seperti seonggok daging merah yang menyala-nyala di tengah jalan.

“Yantiii, Yantiiii, suamimu Yan, suamimu..” teriak tetangganya.

Ado apo samo4 Bang Johan, kak?” tampak Yanti gugup.

“Ada apa dengan papa?” tanya Deni.

Sekonyong-konyong, Yanti langsung berlarian menjemput Johan yang terkapar di tengah jalan. Jaraknya sekitar 100 meter dari rumahnya. Deni pun menyusul dengan seragam sekolahnya yang juga belum diseterika.

Seketika itu juga tetangganya berhamburan di jalan. Secara refleks mereka semua membantunya. Johan langsung dilarikan ke rumah sakit Muhammad Husin Palembang dengan angkot yang lewat. Di dalam perjalanan, Yanti merangkul Johan. Johan tampak kejang-kejang. Darahnya sangat kental dan merah pekat.

Dah…lan”, kata-kata terakhir itu keluar dari mulut Johan.

****

Johan meninggal di perjalanan menuju rumah sakit. Cuma satu yang diingat Yanti: Dahlan. Namun, satu hal yang lebih besar yang sangat dikhawatirnya, yaitu Deni. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan anak di usia sembilan tahun ketika melihat orangtuanya terkapar dan bersimbah darah. Dia takut, jangan-jangan Deni akan menaruh dendam sampai dia dewasa. Karena ketika Johan menghembuskan napas terakhirnya di angkot. Deni sempat bergumam,”awas kalau aku sudah besar!”

 

***

Di tempat lain, terdapat perdebatan sengit.

Hai Malaikat Ridwan, Johan adalah jatahku. Ia harus disiksa di neraka. Dalam hidupnya ia jarang shalat. Tidak pernah membaca Al-Qur’an dan sering mabuk-mabukan,” jelas Malaikat Malik.

“Tidak seperti itu saudaraku. Ia memang jarang shalat dan membaca Al-Qur’an. Tapi ia tidak pernah menyusahkan isterinya. Ia adalah suami yang bertanggungjawab. Sesungguhnya kematiannya adalah kematian yang baik. Khusnul Khatimah. Ia meninggal karena hendak mencari rejeki untuk menafkahkan isteri dan anaknya setelah tiga minggu menganggur. Bukankah itu pebuatan mulia?” jelas Malaikat Ridwan.

***

Sudah tiga Minggu usia pusara Johan. Tanahnya masih merah dan sangat padat. Maklum, cuaca Palembang tidak bisa ditebak akhir-akhir ini. Kadang panas seringkali hujan. Sehingga tanah di permakaman umum Kandang Kawat yang tak rapih itu semakin tak jelas. Kadang penuh debu bertebangan, juga tak ketinggalan rerumputan dan perdu-perdu di sela-sela nisan.

Nisan itu bertulis: Johan Bin Rahman Nangtjik, lahir di Ogan Komering Ilir 31 Januari 1963, Wafat di Palembang 13 April 2004. Nisannya masih terbuat dari kayu. Sisa-sisa bunga kering dan daun pandan masih bergelantungan di atasnyya. Sesekali bergoyang-goyang di tiup angin. Sementara di kedua sisi makam itu terhampar rumput halus yang dipenuhi ilalang.

Yanti untuk ke tiga kalinya mengunjungi pusara suaminya itu. Dia hanya mengenakan blus hitam dan kerudung putih. Semenatra Deni, dengan tatapan kosong, berdiri di sampingnya dengan celana pendek hijau dan peci putih. Tangan keduanya menengadah ke atas. Sambil mulutnya bergerak-gerak melafazkan doa.

****

Bunyi lonceng sekolah memecah hening. Riuh tawa anak-anak serentak menggelagr sepanjang koridor sedkolah itu. SD Negeri III Palembang. Ya, Pukul 12.00 siang waktunya Deni melepaskan diri dari kepenatan dan rutinitas belajar di sekolah yang tak jauh dari rumahnya itu. Namun siang  itu, dia tidak langsung pulang. Dia berdua dengan temannya pergi ke Pasar Burung. Mereka ingin membeli ikan mas koki utntuk dipelihara. “Yakin kan kamu jalannya lewat sini?” tanya Deni. Mereka melewti jalan pintas yang belum pernah dilalui Deni. Walaupun dia sering bolak-balik ke pasar Burung membeli makanan ikan, ia  blum pernah sekalipun melintas di lorong itu. “Ia, aku yakin kok. Aku gak sering sih lewat sini, tapi kemarin baru saja aku dengan kakakku melaluinya. Tenang aja Den!” jawab Anton dengan percaya diri.

Ketika mereka melintasi sebuah pertigaan yang becek, mereka dicegat seorang pemuda belasan tahun. “Hei anak kecil, ngapain kalian lewat sini?!” bentak pemuda itu. “Ah enggak kok bang, kami cuma numpang lewat. Mau ke Pasar Burung,” jawab Anton dengan paras gugup. Tangannya tampak mencengkeram bahu Deni dengan erta. Tampak seklai ia gugup. “Iya bang. Kami Cuma  mau lewat. Ada sesuatu yang ingin kmai beli di Pasar Burung,” jawab Deni dengan tenang. “Oh…Pasar Burung. Kalau begitu kalian pasti membawa uang. Ayo, berikan padaku!! Cepat!!” bentak pemuda itu dengan pisau kevcil menonjol di pinggangnya. “Jangan gitu Bang, kita baru pulang dari sekolah. Kita harus membeli ikan mas kokoi!” sergah Deni. “Alllaaaaaaaa…jangan banyak bacot!!’

Pemuda itu langsung menyambar uang yang ada di kantong Deni dan Anton. Namu dengan sigap, pisau yang meneylip di pinggangnya di sambar Deni. Cooosss!!  Darah mengalir dai pemuda itu…….

Advertisement

Author:

He calls himself a simple social butterfly as he frequently engages in social media such as blogs and micro blogging. Indonesian living in Singapore.

7 thoughts on “Johan di Kawasan 13 Ilir

  1. Hebat cerpennya. boleh kenal. samo-samo kito sedih dengan kondisi Palembang seperti di 13 ilir itu. Samosamo kito bangun Palembang. Please sent your email

  2. Salam kenal fickry.
    Bagus sekali cerpennya.
    Alhamd. Kami bersama teman2 sdg melakukan program pemberdayaan di 13 ilir tersebur melalui pendidikan dan beasiswa anak2 pra sejahtera.

    Fajri

Komen dong kakak...

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s