Ada pengalaman menarik ketika saya pertama kali ke rumah Pak Abrar di Tugerranong, Canberra Selatan, semua rumah di daerah sana tak berpagar. Sebetulnya nggak hanya di sana, tapi semua rumah di Aussie…kebetulan aja saya baru concern di rumah beliau.
Sebenarnya nggak juga nggak berpagar, hanya bagian muka rumah aja yg nggak berpagar, sementara kanan kiri dan belakang tetap dipagari. Tapi, pagar tersebut hanya ala kadarnya, hanya untuk membatasi luas tanah dan area. Dan karena saking amannya, rumah-rumah yang berjendela kaca nggak memiliki terali besi. Sangat sangat gampang dimasuki pencuri.
Hal ini menarik ketika kita berbicara tentang kehidupan social di sini. Pertama, kondisi social yang sangat individualis tentu sangat bertolak belakang dg konsep bertetangga tadi. Rumah yang tak berpagar mengesankan pemilik rumah welcome kepada siapa saja yang datang, inclusive. Sementara rumah yg berpagar tinggi mengindikasikan sang pemilik rumah terkesan eksklusif.
Ini hanya sekedar asumsi, berdasarkan pengalaman saya aja. Ketika saya tinggal di kampung halaman, semua rumah gak ada pagarnya, sehingga kita bisa dengan mudah berinteraksi dan saling tegur sapa. Silaturrahmi, sekedar mampir, bercengkerama, bahkan menginap. Tapi ketika rumah berpagar tinggi, orang akan enggan untuk lebih intim berinteraksi, karena kita sudah membatasi diri.
Nah, yang terjadi di Aussie adalah anomali. Ketika fasilitas dan aturan sangat menstimulis terjadinya sosialisasi dan interaksi antar masyarakatnya, justru kondisi hubungan antarindividu (khususnya tetangga) begitu kering. Tapi di Indonesia sebaliknya, ketika rumah sudah tak berpagar, di samping terjadinya hubungan positif antar tetangga, hal ini juga menarik maling ke rumah..hehe…Wallahualam…
terlalu ramah selain teman, maling juga mampir mas wakwkakw…..