SAYA ingin membincang tentang sebuah Maha Karya yang saya yakin teman-teman di sini sepakati. Sebuah karya agung masa lalu tentang kedigdayaan negeri ini. Tentang sebuah kreasi manusia Indonesia yang berjaya pada ratusan tahun yang lalu: The Miracle of Borobudur Temple!
Namun tidak seperti kebanyakan tulisan yang menceritakan kisah Borobudur sebagai sebuah bangunan bersejarah, melainkan sedikit pengalaman pertama saya pada perhelatan akbar tahunan yang berlangsung di sana: Upacara Waisak 2010. Kala di mana saat itu saya masih bekerja untuk sebuah organisasi pendidikan dan budaya, milik salahsatu konsorsium Australia, ACICIS (Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies) yang berlokasi di Yogyakarta.
ACICIS sendiri merupakan sebuah konsorsium yang terdiri dari berbagai universitas di Australia yang mengirimkan mahasiswa-mahasiswanya ke Indonesia untuk belajar bahasa dan budaya nusantara. Menarik? Pastinya… Saya merasa menjadi ujung tombak bangsa ini yang secara langsung memperkenalkan budaya dan kekayaan alam Indonesia.
Nah, di tahun ke dua saya bekerja, bersama rekan-rekan di kantor, kami memutuskan untuk mengunjungi sebuah upacara keagamaan yang fenomenal di Indonesia. Maka saat itu pula Waisak langsung menjadi top of mind saya. Maklum, membayangkan ribuan lampion terbang di langit malam merupakan sebuah misi pribadi yang tak kunjung-kunjung datang :p
Dan sesaat itu juga saya berhasil meyakinkan kolega saya untuk bersepakat mengunjungi upacara waisak yang saat itu jatuh di akhir Mei 2010. Bersama dua puluhan mahasiswa Australia, Amerika, dan Belanda, kami akan mengguncang Borobudur, pemirsah!
“We’re going to Vhisak, guysssss!”
Sekitar satu setengah jam akhirnya rombongan kami tiba di salahsatu gerbang masuk Candi peninggalan Dinasti Syailendra itu. Kali itu waktu menunjukkan pukul 7 malam. Daaaaaan…. you know what,,, we were extremely laaaaate! Sungguh di luar perkiraan. Ternyata informasi yang kami terima tidak begitu akurat. Untuk memasuki kompleks candi dan mengikuti prosesi upacara dan lampion terbang, semua peserta harus mengikuti arak arakan dari Candi Mendut yang sudah dimulai sejak pukul 4 sore. Zoooooonk!
Semua pintu gerbang ditutup, tinggalah seonggok bus yang ditinggali satu warga lokal dan 15 bule Australia.
Sebagai seorang Program Assistant yang pernah memiliki pengalaman menjadi wartawan di salahsatu media online, saya akan merasa gagal jika belum berhasil menerobos masuk ke perhelatan akbar ini. Selain itu, saya akan merasa berdosa jika misi suci membawa mahasiswa-mahasiswa asing ini tak bisa terpenuhi. Ya, ini adalah sebuah tugas negara yang jika gagal dieksekusi akan mempengaruhi hidup dan mati.
“Pak, nyusun sewu… kebetulan kita rombongan dari Jogja baru sampai pak. Apakah gerbangnya bisa dibuka?” ucapku melas.
“Wah maaf pak. Semua gerbang sudah ditutup. Jadi mohon maaf saya tidak dapat mengijinkan bapak dan rombongan masuk,” ujar salahsatu bapak petugas dengan tegas.
………….
“Pak mohon maaf banget Pak. Ini saya membawa rombongan dari Australia, mereka menjalankan misi kebudayaan untuk dapat melihat keragaman dan kekayaan budaya Indonesia, Pak. Saya rasa kehadiran mereka di sini dapat memberikan dampak positif dalam menyebarkan nilai nilai yang diyakini oleh umat Budha akan sebuah keharmonisan…….”
Usaha saya berdiplomasi semakin menjadi jadi. Mata kuliah komunikasi interpersonal, komunikasi antarbudaya, lobbying dan bla bla bla langsung keluar dan saya praktikan ke petugas tadi…
Selang sekira 40 menit akhirnya saya berhasil membuat Bapak petugas ini luruh. Iya pun akhirnya bergeming dengan kepiawaian saya dalam bernegosiasi.
“Huaaaa Pak.. matur nuwun sanget, Pak. Semoga amal ibadah bapak diterima dan diberikan rejeki berlimpah…”
Singkat kata, akhirnya kami berhasil masuk dengan lancar. Kegigihan saya dalam meyakinkan sang petugas tidak terlepas dari kecintaan saya terhadap negeri ini. Saya merasa Borobudur dan perayaan waisak adalah salahsatu Potret Mahakarya Indonesia yang harus disebarkan ke penjuru dunia. Berbagai kepala turun dan ikut berkumpul di sana. Upacara keagamaan ini tidak lagi dimiliki oleh warga Budha, tapi sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat Indonesia menghargai sebuah keberagaman dan keharmonisan.
Maka semangat waisak, kemagisan serta kesakralannya – terlepas dari ritual keagamaan – adalah sebuah refleksi nyata bahwa harapan untuk Indonesia yang lebih baik masih ada.
Sumber foto: http://www.djisamsoe.com Fotografer Satria Marsudi Nugraha
Hanya bisa berharap dan mendoakan bangsa ini agar bisa menjadi bangsa dan negara yang lebih baik dan berakhlak mulia, 😀