Posted in Resensi

Lintang, Mahar, dan Ikal

Nonton primier Laskar Pelangi the Movie di Jogja bareng Sultan, Andrea Hirata, Riri Riza, Mira Lesmana, dan bahkan ketiga tokoh utama (Ikal, Lintang, Mahar) merupakan kesempatan yang jarang terjadi. Pemilihan  Jogja sebagai kota pertama yg dikunjungi sang sutradara bukan tanpa alasan. Di samping masih kentalnya napas Jogja sebagai kota Pendidikan yang seirama dengan misi film ini, juga karena salah satu tokoh film – Pak Harpan- menyebut Jogja sebagai salah satu kota pendidikan yang berkarakter. Bahkan, saking menyentuhnya film ini, Sultan pun menontonnya untuk kali kedua pada hari yang sama. Dan semalam, saya pun mengikuti jejak beliau, menonton untuk yang kedua kalinya. :p
Luar Biasa! Tak berlebihan jika film ini akan mampu menggeser rating film-film box office Indonesia sebelumnya. Untuk sebuah film yang diadaptasi dari sebuah novel laris, sang sutradara memberikan porsi yang cukup terhadap adegan yang perlu dan yang tidak perlu ada. Tidak mudah, tapi sang sutradara sangat piawai memberikan komposisi yang pas dalam menghidupkan cerita novel tersebut.
Walaupun mendadak artis, kesepuluh anak asli Belitong tersebut sangat piawai dalam menghidupkan karakter laskar pelangi tadi. Natural, dan sangat lokal dengan aksen Belitong yang begitu kental. Wajah-wajah polos dan bersemangat menularkan sensasi yang meledak-ledak bagi siapapun yang menontonnya. Sosok Lintang yang begitu tegar dengan wajah yang tampak memikul banyak beban betul-betul berkesan bagi saya. Mahar yang sangat menghibur dengan suara emasnya.
Serta Ikal yang memiliki karakter penengah di antara keduyanya. Belum lagi dengan ketujuh laskar lainnya yang memiliki porsi peran masing-masing.
Lokalitas dan semangat anak-anak asli Belitong inilah yang menjadi kekuatan film ini. Sementara artis-artis kawakan sekelas Slamet Raharjo, Jajang C. Noer, Tio Pakusadewo, Rieke Diyah Pitaloka, Cut Mini, ataupun Mathias Muchus tidak lebih dari sekedar Cameo. Dan satu hal yang sedikit mengganggu bagi saya, adalah kemunculan Tora Sudiro yang memerankan tokoh Pak Mahmud. Dia sangat tidak berhasil menghidupkan tokoh Pak Mahmud tadi. Di samping karena aksen yang terkesan memaksa, juga scene-scene yang tidak perlu.
Anyway, saya tidak mau berkomentar lebih panjang tentang film ini. Yang jelas, saya berniat untuk menonton film ini untuk kali ketiga. :p
Cheers.

Author:

He calls himself a simple social butterfly as he frequently engages in social media such as blogs and micro blogging. Indonesian living in Singapore.

19 thoughts on “Lintang, Mahar, dan Ikal

  1. setuju Mas..
    Film ini bagus sekali..
    InsyaAllah habis lebaran sekeluarga besar mau nonton di bioskop.
    Padahal kemarin sudah 😛

  2. wahhhhhh enak banget bisa nonton bareng Andrea Hirata en Riri Riza, dapet tanda tangan en foto-fotonya gak ????
    Laskar Pelangi memang layak menjadi karya terbaik anak bangsa tidak hanya novelnya namun juga filmnya

  3. @tiyokpras
    hallaaa..gak dapet tiket kan kemaren..hehehe

    @suzannita
    serius..seru bgt rame2 ma mereka…gak minta tanda tangan nsih..cuz udah pernah dpt pas ada acara bedah bukunya d jogja juga taun lalu bareng mutia hafidz…

  4. huhu
    jangankan filemnya, novelnya saja belum sempat saya baca
    mana yang harus saya dahulukan, nonton filemnya atau baca novelnya??

  5. klo ttg peran tora sudiro gw stuju mmang doi g bisa mnghdupkan krakter ini..
    tpi yg dah gw bca bkunya ttg behind the scene lp ni..tkoh pak mahmud dhdirkan sbgai pmacu agar lbih hidupnya krakter bu mus…
    krena novelnyapun dibuat oleh sang pnulis khusu untuk mncritakan ibunda gurunya sndri..
    ya…bu mus…the great woman

Komen dong kakak...

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s