SEBAGAI bangsa yang besar Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang beraneka. Kebudayaan sebagai salah satu aspek kehidupan berbangsa juga menjadi faktor penting dalam membangun identitas nasional. Keragaman budaya tersebut tentu merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya mengingat Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku, etnis, dan bahasa daerah. Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan kelompok suku bangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok sukubangsa yang ada di daerah tersebut.
Fakta bahwa Indonesia memiliki potensi keragaman budaya hanya akan menjadi sejarah jika tidak diiringi dengan usaha pelestarian yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait, baik pemerintah maupun masyarakat. Untuk itulah Rotaract Semanggi Jakarta, komunitas anak muda yang memiliki concern terhadap sosial budaya mengadakan acara Social Movement Festival 2 pada Minggu (27/05) di At America, Pacific Place, Lantai 3, Jakarta Selatan. Dengan tema “Culture Meets Technology,” festival komunitas dan gerakan sosial ini merupakan kali kedua yang diadakan Rotaract Semanggi Jakarta. Di tahun 2011 lalu, acara ini berhasil menyedot perhatian publik sekaligus menjadi inspirasi beragam temu komunitas sosial dan juga kolaborasi antargerakan sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya.
“Sebagai pemuda Indonesia, kami prihatin dengan keberlangsungan nasib budaya bangsa ini di tengah invasi budaya luar – beberapa malah sempat diklaim oleh negara lain. Lewat SMF 2, kami mengajak pemuda dan masyarakat untuk lebih peduli, bangga, dan cinta terhadap budaya Indonesia. Apalagi pelaksanaannya masih dalam suasana dan semangat Hari Kebangkitan Nasional yang jatuh di bulan Mei juga,” ujar Oke hastiawan, sebagai Project Manager SMF 2 sekaligus President Club of Rotaract Semanggi Jakarta.
Setidaknya sekitar 700 peserta dan lebih dari 30 community partner turut hadir pada acara yang terbagi ke dalam dua sesi tersebut. Sesi pertama dari pukul 1 hingga 5 sore diisi oleh pembicara-pembicara dari berbagai latar belakang baik akademisi maupun praktisi. Sebut saja Adhyatmika, seorang film maker muda yang pernah memenangi kompetisi video di Amerika Serikat, Dwiki Dharmawan yang pernah mengaransemen musik tradisional dengan perangkat elektrik, serta Profesor Sarlito Wiryawan dan Dr. Margaretha yang menyoroti kebudayaan dari sudut pandang akademisi. Di samping penuh dengan topik topik menarik, sesi pertama yang ditutup oleh diskusi mengenai film dokumenter batik oleh Vivian Idris dari Kalyanashira Foundation ini, juga dimeriahkan oleh berbagai atraksi seni dari IOV Univeristas Pelita Harapan, Seraf Voce Sampoerna School of Education dan Saman Kids.
“Kegiatan seperti ini penting banget mengingat saat ini tema-tema mengenai kebudayaan tradisional sangat jarang diangkat. Apalagi jika dikaitan dengan social media yang tengah marak-maraknya, SMF 2 kali ini sungguh merupakan jawaban,” ujar Andy, salah satu peserta.
Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi ke dua yang dibuka dengan penampilan tari piring oleh Eram, seorang balita yang gemar membawakan tarian tradisional. Berbeda dengan sesi sebelumnya, sesi ke dua ini lebih banyak berdiskusi mengenai komunitas dan kegiatannya terkait tema “Culture Meets Technology”. Sebut saja Kineforum, Kratonpedia, IOV, Indo Historia, Gerakan Sejuta Budaya Indonesia, serta Rotaract Semanggi Jakarta sendiri selaku panitia acara. Sama seperti sesi pertama, sesi ke dua ini juga dimeriahkan berbagai atraksi seni dan pertunjukan seperti Dangdut musical oleh Eva Puka, gitar akustik oleh Albert Fakdawer (pemeran Denias dalam film Denias), serta permainan biola oleh Putri Batik Indonesia 2011, Ismi Halida.
Selain dimeriahkan oleh berbagai pengisi acara dan pembicara, acara yang juga disponsori oleh Rotary Club Jakarta dan didukung oleh berbagai media ini juga diramaikan oleh para buzzer dan selebritis di media sosial. Tercatat setidaknya lebih dari 3 juta potensi impression dari tweet-tweet yang beredar selama acara berlangsung. “Tema budaya sengaja kami gandengkan dengan teknologi untuk mendapatkan kesan kekinian dan menarik perhatian kaum muda. Harapannya anak muda memiliki kesadaran utuh bahwa melestarikan budaya dapat dilakukan oleh siapapun dalam bentuk apapun,” tambah Fikri, koordinator humas acara.