Posted in Puisi

Sebab Sungai Adalah Semacam Liang Lahat

Sebab sungai adalah semacam liang lahat

Kerikil di sana bak rerumput di sela-sela lisan teratas

Lalu arusnya adalah papan-papan paling bawah

Menghadap barat badan telentang ke dinding merah

 

Lajunya tenang selaksa jenjang hidup nuju Pencipta

 

Harapan yang terkubur di ruang gelap

Bersarang di sel-sel otak untuk kemudian terendap-endap berdebu

Sepat dan tongkol mabuk ditimbun gundukan tanah merah

Melucuti ari yang tertempel di tiap lesung tengkorak

 

Sebab sungai adalah jasad dan seterusnya membangkai bumi

Sebab tepinya adalah rusuk-rusuk khianat

 

Lalu muaranya adalah kelaminmu

Sebab kenikmatan terdera di pucuk-pucuknya

Menelanjangi imaji syahwat dalam cangkang tanah kuburan

 

Dan ruh cuma terbang kepayang di awang-awang

Sebab sungai adalah semacam liang keramat []

Posted in Puisi

Edane Sungai Cisadane

Lang pulanglah sayang

Seperti riak ombak tak kunjung ke tepi

Lagian sawah kelak terbenam

Jauh di negeri api dan angin

Menyambut awan yang tak lekas tandang

Aku beranjak dari pura itu.

Meliuk mata kaki di antara gundukan kerikil

 

Sementara sang siang menghempas-hempas nyawa dahan

Yang menutupi permukaan air

Sungaiku sungai ilalang

Ujungnya entah seperti negeri sok kaya

 

Belumlah BBM sempatlah Ambalat

Cukuplah …. apalagi nista ini

Oalah …. akankah sungai ini kering terapung?

Menyisakan intrik-intrik krikil dan politik

Bahkan darah adalah menu utama

Di tiap pagi dan sore hari

 

Oalah…akankah sungai ini terbendung

Lalu tak sempat menyisakan sedikit oksigen bagi parit-parit di luar sana

Yang kebetulan tak bisa pulang karena gaji yang kurang

Eh…salah ding!! Atau justru kenangan gaji yang tinggi

Sampai jejak langkahpun tak dimengerti lagi

 

Lagi pula sungai ini sudah mendangkal

Tangan-tangan penyamun yang tetap mengais

Padahal jelas kaki terpenggal

 

Lalu sesosok bisu mencaci diriku dan bergumam tegas:

“Hai ikan jelek, diamlah di sana, karena kail ini akan menyusul insangmu!!!”

 

Aku mati Aku mati

Posted in Puisi

Tentang Tiga

Kubisa diam kalau kau serat

Kubisa bilang bila kau tenang

Cukuplah Rhein hati ini

Deralah Rhein mayatku kini

Karena cukuplah ruh yang kupunya

Tercabik lengkap lewat di dada

 

Dunno disturb my eyes now

Let them alone with those faces

Tak terkira perihnya hingga

Rhein tertega yang kupunya

Resapi sukma belenggu air mata

Cukup sudah Rhein..

 

Jiwa kini tersungkur gunung

Tangan ini terpenggal jantung

Sebegitukah cintamu

Maukah kejam ataukah lara?

Ataupun sadis mungkinkah murka?

Tak tahu khilafku letak

 

Adakah sillah di sana

Termungkinkah kapabilitas ada?

Kekinian anomali hartaku punya

 

Jogja, 11 januari 05

 

 

 

Hati ini malu. Jiwa ini sungguh tak tahu malu

Kepada Mu Rabb aku Cuma bisa meminta

Sementara sujud lengang terjaga

Kemudian ruang maghfirah itu selalu ada

Aku malu Rabb

 

Hati ini malu. Jiwa ini sungguh tak tahu malu

Kepada Mu Rabb aku Cuma bisa meminta

Terasa kecil makhluk ini

Kikis sudah sombong ini

Keajaiban Mu yang teralami

Menyuburkan imanku yang sempat terongrong

 

Aku malu Rabb jiwa ini sungguh tak tahu malu

Langit yang dipinta selalu ada

Namun sujud yang tersedia sarat lengang adanya

Aku malu Rabb

Berilah istiqamah dan kekuatan hambamu yang maha kerdil ini.

 

 

Jogja, 11 januari 05

 

 

 

Fuck!! …

Suck!!

Bullshit!!

Asu

Segawon

Bajigur

Anjrit

Wuteva….you’re so…cuih!

 

Sebegitu parahkah arti sebuah kebencian?

Eit..bukan benci kawan. Mungkin seorang aku tidak punya banyak kosa kata untuk melukiskan sebuah perasaan kecewa dan kesal

Dan yang terdengar hanya umpat dan caci maki bernada sopan

 

Di mana sih arti sebuah teman bagimu?

Sebegitu mudahkah kamu melupakan apa yang telah aku berikan kepadamu?

Sehingga kata yang keluar dari mulutmu hanya: urusanmu!!

Lupakah engkau ketika malam aku rela membantumu membuat paper

Lupakah kamu ketika itu aku membantumu mencari dosen karena salah jadwal ujian!

 

Maaf kawan..aku juga telah banyak merepotkanmu selama ini. AKu dengan tak tahu malu nebeng di belakang jok motormu. Aku yang tak bermateri ini suka pinjem duit. Aku yang kemarin bermasalah minta dianterin keliling jual hp. Namun, apakah demikian caramu melampiaskan rasa ‘kerepotanmu atau keterpaksaanmu membantu’ kepadaku..

Picik sekali engkau kawan..

Bilang saja kalau selama ini kamu hanya menahan …merasa tidak enak kalau tidak membantu teman.

Bukan. Bukan, bukan itu teman. Bukan yang itu sahabat!  Dan bukan itu inginku!

Aku Cuma butuh pengertianmu. Rasa empatimu. Senyummu ketika aku senang. Dan tangismu ketika aku susah. Dan tatapan seriusmu ketika aku berkesah.

Aku Cuma butuh teman-butuh  teman. Sederhana saja,

Memang tak adil. Aku begitu egois, teman? Kita sudah tak memahmi lagi…

Dan tepukan khas pertama kali berkenalan sudah tak hapal untuk dipraktikan..

Sangat disesalkan…

 

Cerita lama yang kembli terulang. Friendship is bullshit?

 

Jogja, 7 januari 05 setelah ujian agama

 

 

 

Mon, apakah kamu masih punya cinta?

Apakah kamu masih menyimpan harta itu?

Apakah kamu sudah punya cukup nyali untuk berkata ‘ya’ padaku?

Apakah rasa sayangku masih lekat di benakmu?

Apakah surat itu kau simpan baik-baik?

Apakah masih ada secuil rasa di hatimu?

Apakah masih ada waktu untuk mendengar peluhku?

Apakah tugas-tugasmu sudah selesai kamu kerjakan? Sehingga aku yakin tak terabaikan?

Apakah orangtuamu sudah mengerti kalau perkawinan mereka diawali dari apa yang kita lakukan saat ini?

Apakah adikmu maih sayang padaku?

Apakah kamu selalu pulang malam?

Apakah kamu masih ingat ngenet di warnet di dekat rumahmu?

Apakah kamu juga sering memakai syal ungu dariku?

Apakah minuman kesukaanmu masih air jeruk ditambah sedikit susu?

Apakah bedak taburmu masih di beli di toko Jhon Guttenberg?

Apakah kamu ingat ketika menangis di pundakku?

Apakah kamu sudah sudah yakin bahwa aku bukan pilihanmu?

Apakah aku terlalu cacat dan sebegitu buruk untukmu?

Apakah aku terlalu cuek untuk ukuran laki-laki?

Apakah aku terlalu naïf untuk sebuah cinta?

Apakah dan apakah?

Dan jutaan apakah yang masih tersimpan di gudang benak bersarang cinta masih menunggu untuk teriak

Karena kamu begitu sempurna untukku……….

Dan masihkah kamu memberikan celah itu untukku lagi……

 

Jogja, 7 januari 05

 

 

 

Seorang teman sama seperti baju yang kau kenakkan sehari-hari

Balutan busana rapi untuk kemudian lesuh akan setia menanti. Teman akan setia menutupi kejelekkan-kejelekkanmu. Berusaha menahan aroma tubuhmu yang bau seperti bangkai. Seorang teman akan setia…akan setia

 

Jogja, 7 januari 05

 

 

 

Pergi dan teriak di luar sana

Hentamkan kakimu jangan kau lupa

Pegangi kudamu. Lepaskan sayapnya

Ataukah aku harus menunduk melupakan kisah usang itu?

 

Tinggalkan saja aroma tubuh busukmu!

Larilah ke perpustakaan kemarin

Jangan siakan kasih si bungsu

Hentak-hentakkan peln-pelan

Detak-detakkan jantungmu kawan

 

Sedang tanganku terlalu besar untuk ukuran lawan

Lewat saja kau akan tamat

Kiamatmu hamper dekat

Syukurilah kawan riwayat aku.

 

Jogja, 11 januari 05

 

 

Seorang ibu adalah manusia sempurna. Walau ku

tahu tak ada manusia sempurna kecuali utusanNya.

Namun, bukan berarti aku mau menyamakan beliau

nabi. Namun, hanya itu yang bisa kuukirkan

 untuk mendesripsikan bundaku. Tiap pagi, ibu

 dengan setia membangunkanku. Apalagi ketika

puasa itu. Matanya paling dini untuk terbelalak

 sana. Tubuhnya yang lemah sangat kuat

 tuk anandanya tercinta. sementara

kita memang tidak tahu malu

Bisanya hanya berkata: hai ibuku sayang. Adakah seuntai konkret

buat ibu?

Ibu terlalu lemah untuk menampar anaknya yang kurang ajar. Ibu

Terlalu baik untuk memberi maaf se-MalinKundang. Ibu

terlalu tabah tuk setiap luka

Dan aku terlalu durhaka tak bisa berbuat apa-apa untuk membahagiakan ibuku.

 

Jogja, 11 januari 2005

 

 

 

Saya suka ini…..

Pernahkah anda merasa mengenal seseorang dengan sempurna?

Dan  anda merasa sok tahu atas hidup dan matinya

Lalu anda menghakimi tentang jadwalnya ketika suka dan duka

Dan seakan-akan anda tahu kapan seharusnya ia tersenyum ataupun murung

Dan ketika anda yakin dengan semua hal di atas, maka

Tanyalah..

Tahulah anda: anda akan merasa sangat menyesal

Betapa bodohnya anda! Anda tak kan pernah tahu

Bahwa di balik senyumnya terdapat jasad yang tergeletak luka parah

Dan seseungguhnya perbuatan anda yang anda kira biasa saja

Adalah seperti merazamnya

Racun itu jauh melesak ke sel-sel hati

Dan semakin ia tertawa keras, maka

Anda hanya akan menjadi badut sempurna di sana

Karena sungguh, kelenjar airmatanya telah mongering

Terganti air kencing

“Selamat menjadi manusia tak berperasaan…!”

Saya suka ini…

 

Jogja, 3 Maret 05

 

 

 

Pernahkah anda mengalami bingung pada tataran konstelasi?

Lalu anda berkeras bahwa stagnasi adalah segalanya

Memutuskan apa yang seharusnya berdosa untuk dilakukan

Maka anda tidak akan berkembang

Anda hanya akan berlari-lari pada kerangka kekerdilan anda sendiri:

Tak pernah berlapang dada atas apa yang maha terbaik untuk anda

Dan ketololan anda semakin menjadi dan mewabah

Atas sikap yang anda perlihatkan

Baiklah, mungkin saat ini anda merasa

Bahwa keputusan yang anda ambil adalah yang mendekati sempurna: dengan dalih memeras otak…

Maka, berpikirkah anda jenis otak apa yang bersarang

Di kepala anda saat ini?   

 

Jogja, 8 Maret 05

 

 

 

 

 

 

Posted in Puisi

Dua – Dua

Aku mencintaimu Rhein:

Kau tahu, butuh seratus hari

Untuk mengatakan ini. Butuh lima puluh tujuh pertimbangan

Tuk ungkapkan perasaan ini

Dan butuh segunung nyali untuk menggerakkan lidah ini

Aku menyayangimu…

Aku hanya butuh jawabmu, karena aku mencintaimu seperti titik

Dan aku hanya butuh kata ‘iya’mu

Jikalau yang terangkai adalah tidak,

Tenang saja: aku akan sangat bahagia tiada kecewa

Karena setidaknya aku berhasil menjadi manusia penuh cinta:

Berhasil mencintaimu apa adanya

Tanpa kecewa dengan ‘tidak’ jawabnya

Aku terus mencintaimu

Entah sampai kapan…

 

Jogja, 25 Des 04

________________________________________________________________________

 

Atas nama cinta:

Aku butuh substansi

Bukan nasi basi yang dikebiri

Aku mau teriak di luar sana

Sudah bosan dengan aturan mereka

Sok ideal dan sempurna

Aku mau bebas lepas

Tak mau terkekang

Aku ingin membangkang

Di tempat berkubang

Diselingi suara sumbang

 

Jogja, 26 Des 04

 

 

 

Persahabatan kita adalah seperti

Untaian tali

Kita berada di tiap ujungnya

Dan jika untaian itu harus lepas

Pasti lenganmulah

Yang tak kuasa menahan ujungnya: bukan lenganku.

 

Jogja, 26 Des 04

 

 

 

Mereka terlalu sibuk dengan urusan dan

Pekerjaannya

Terlalu naïf untuk urusan perut mereka

Sementara aku

Masih berjalan di tempat

Ditarik ulur oleh mereka berempat:

Aku mati

Aku mati

 

Jogja, 1 Januari 05

 

 

 

Putih dan tenang: lugu

Hamparan dalam lumat senyap

Dari atap-atap langit serambi

Meneriakkan ribu getar

Menembakkan juta debar

 

Jogja, 7 January 05

 

 

Ohhhmmmmmmmmmm

Ohmmmmmmm

Ohmmm

Pelan-pelan berhenti satu oktaf

Samar dalam senyap jantung

Beriak khidmat

Nyanyian duka dalam tawamu dan-dan

 

Jogja, 7 Jan 05

 

 

Pertama dalam ujung haru

Didamba dan dipuja selalu

Dalam batin aku hanya mencoba

Dapati satu luka tak kunjung reda

Bait-lah lewat satu dua kisah sedih dan pilu

Zaman-zaman lalui gunung es

Peri cantik hanya geli melirikku

Seorang pemuda tak tampan hanya menunggu lesu

Kepingan harap hanya jadi sembilu

Lereng-lereng terasa jurang yang terjal dan membatu cadas

Semakin kuat dan tak bersahabat

Dulangan itu masih gamang

Masih terbuka untuk hamba sahaya

Masih terbuka

 

 

Jogja 7 jan 05

 

 

 

Centil dan sok seksi

Body gitar ngaku biola

Sedang-sedang saja

Buncit besar menelanjangi nafsu

Bersetubuh kesedihan merobek luka

Membasahi air mata

Meniduri punggung-punggung

Berjalan diatas awan

Pura-pura berjalan

 

 

Jogja 7 jan 05

 

 

 

Hembusan memekak

Dua ibis terbang berarak

Awan hitam lesu perak

Mana langit bumi di bawah

Artinya adalah subuh

Dua duri direnyah tulang

Memicu adrenalin

Memicing mata belasan kedip

Napas sesak

Napas sedak

 

Jogja, 10 January 05

 

 

 

 

Jantungku lapar. Paruku sesak. peluh hydrogen

Epidermis sekarat. Vena-vena kebingunan di jaringan empat tingkat

Ruh salah sasar mewabah dalam kurun waktu tak terhingga.

Denyut jalan lagi. Nyanyi-nyanyi senda gurau.

Dalam buaian kupingmu sayang

Aku hilang lepas berpulang

Lalu selaksa kata terpaut lidah

Loncat senyuman lewati duri najis-najis. Burung mati tempat mengiris.

Di pinggiran kali jiwaku terbenam. Keramasi asmara dalam buai adikku saying.

 

Jogja, 11 January 05

 

 

 

Khatulistiwa mulai melengkung

Bersekat-sekat dalam gugusan rimba

Maya dalam nyata kian gamang

Manusia pendosa tak berpaling jua

Hanya Tuhanlah murka

Mendapat hamba di luar batas

Manusia tersingkir karena kikir. Manusia lemas karena malas. Manusia bengong karena sombong. Manusia takut karena kalut. Manusia hanya menyesal karena bingsal.

Tak tahu apa yang harus diakukan

Mau kemana jasad dibawa lari

Adakah langit di luar sana

Adakah tanah lain di luar kuasa-Nya

Adakah tuhan lain selain-Nya

Maka tanyalah,

Tunggulah azab-Nya

 

Jogja, 11 january 2005

 

 

Hus-hus-hus

Kucingku pergi membawa tikus

Ci cit ci cit cuit

Burung-burung berdendang sedikit

Mbeeeeeeeeeeeeeek

Kambingku membangunkan mak ambek

Arrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrgh

Suara manusia rakus nan laparrrrrrrrrgh

Nayanyian hati bu…dukanya siapa??

 

Jogja, 1 january 05

 

 

Kemarin aku hanya bisa menangis

Kemarin aku hanya bisa tersedan

Sesaat kemudian aku hanya bisa bertahan

Menunggu pertolongan dan tangan Tuhan

Aku menunggu biar berpelan

 

Hari ini aku tekad berjalan

Tertatih walau cuma satu kaki

Mengharap ridho ilahi rabbi

Penyeka duka penghirup dosa

 

Besok aku mau berlari

Menyanyi-nyanyi ayat bersuci

Cukuplah sudah hamba berperih

Tepian sedih oh..berpulanglah

Lagipula hari besokkah ada?

 

Dan lusa lain lagi

Aku mau makan kopi dan terbang

Berjuta kopi di ladang tua

Tinggal menuai aroma saja

Ah sudahlah aku hendak lengang

Hendak pergi dengan dosa ini

Basuh hati tuk Maha Suci

Aku mau bertahan tuk kemudian berlari

Terbanglah tinggi aku.

 

Jogja, 11 januari 05

Posted in Puisi

Puisi: Iman

Seruan malam menjamah pekat

Teruntuk maha pekat haluan sesak

Runtuhan pedih. Gelap nan lumat

Aku serat sarat sekat

Ranah-ranahku lekat

Pekat jiwai sukma

Pelan-pelan

 

Jogja, 16 Okt 04

 

 

Masih berjalan di jalan-Nya

Kemarin, imanku penat

Anjing-anjing di luar sana bernafsu dengan jejakku

Mencoba menggauli tingkahku yang mulai bermakna

Sejenak tergoda dengan gonggongan merdunya,

Dan maha pengasih _Dia masih menuntunku dari

Godaan anjing-anjing tadi…fisabilillah

 

Jogja, 18 Okt 04

 

  
Kemarin dia dating

Hijab itu tengah merevolusinya menjadi

Hamba Allah. Seutuhnya

Semampunya ia mencoba

Itu saja

 

Jogja, 18 Okt 04

 

 

 Hari ini aku kusut lagi

Benar-benar tak bernafsu

Hari ini darahku bingung lagi

Entah kenapa jihad ini terhenti

Padahal sepotong kalimat

Kemarin lumat oleh ayat-Nya

Namun berulang dari tempatnya bermula

Aku bingung, imanku meragu

Bertanya-tanya pada sang tahu

Dan akhirnya aku tahu

Haya aku yang tahu diriku

 

(menemukan ilalang yang sudah lama tak senam)

 

Jogja, 20 Okt 04

 

 
Kemarin aku bebas dari doktrin

Paranoid distubuhi liberalisasi diri

Termaktub dalam imajinasi, dan aku pikir

Berpikir yang membebaskan

Kemarin, aku bermuka dengan aufklarung

Bersinggungan dengan bifurkasi tak berujung

Entah sampai kapan

Kemarin, simulakrumku lenyap

Pengap dalam napas senyap

Aku bebas…lepas

Thanx God

 

Jogja, 23 Okt 04

 

 

 

Kamu itu unik

Seunik pijaran karunang di gelap hari

Lalu maya berlari ke peraduannya

Berharap lelap dalam nyanyi-nyanyi

Kamu itu unik

Seunik dirimu yang kian terusik

 

Jogja, 2 Nov 04

 

  Telah dimulai sore itu

Memutarkan gerobak yang bertumpu di dua lingkaran

Terpampang jelas: jejeran bungkusan-bungkusan

Nasi kucing, sate usus, tahu tempe, kue, dan…dan…

Yang dikuasai kakek jangkung berkacamata hitam

“es the loro, pak!” mampir dua pemuda

Sejurus kemudian jari-jari kakek itu

Menari antara air panas, gula, the, sendok

Gelas, dan sedikit goyangan linggok

“mongo mas,” ujarnya

Sejurus kemudian lidah-lidah tiba-tiba

Berrelaksasi. Seiring kedipan mata-mata lapar

“sampun, pak. Nasi kucing loro, sate usus siji, tahu loro

Tempe telu. Piro iki?” dua pemuda tadi

“Tili ngewu songo ngatus,” ujar sang kakek

Nasi kucig, sate usus, tahu tempe, kue, dan…dan…

Berjejer rapih di atas kotak yang bertumpu di dua lingkran

Bernama lengkap: Angkringan di sore hari depan gelanggang   

 

Jogja, 4 Nov 04

 

 Mereka masih sibuk dengan caranya berjalan

Aku terseok ketika meniti

Sejurus kemudian mereka limbung

Namun, aku tetap sepi

Ketika mereka mencari maya sendiri

Aku mati

Aku mati

Mereka berdiri

 

Jogja, 22 Des 04

 

 

 

Ketika dasar kenaifanmu goncang

Maka otakmu berada di persimpangan

Hitam atau putih yang kau pilih

Tanyalah, saat itu pun

Tendensi otakmu kan berjalan

Di bawah sadar

Saat itulah hati akan berkuasa atas putusmu

Maka kamu akan tahu,

Menang atau kalah teman!

 

Jogja, 22 Des 04