Rasanya baru kemarin cikal itu tumbuh. Baru beranjak menjalarkan serabutnya yang rapuh. Butuh nutrisi agar kuat dan teguh. Sekarang, ia harus bersanding dengan angin. Wajib kawin dengan timbal dan urin. Wajar, bila sesak ia sekarang. Dan diagnosa, kontan diperlukan.!
SEKIAN puluh tahun yang lalu Presiden mengesahkan organisasi ini: Gerakan Pramuka dengan perjuangan yang lua biasa mengharukan. Boleh jadi kita berbangga hati. Menjadi penerusnya yang merambat hingga kini. Menyebarkan benih-benih tunasnya dengan semangat pandu yang menggebu. Lengkap dengan peluit, baret, dan kacu. Semoga tak keliru.
Konon, organisasi ini disebut sebagai salah satu pionir perjuangan yang masih bertahan. Entah formula apa yang digunakan para petinggi-petingginya terdahulu. Apa karena sifat organisasi ini yang politis. Sekedar bergerak lunglai tanpa memerhatikan kondisi sekitar? Ah, rasanya tidak juga. Toh organisasi ini banyak mencetak para pemikir ulung bangsa dan pejabat tinggi. Menjadin pilar terdepan bangsa di eranya.
Namun, sejarah tinggal sejarah. Dan sejarah hanyalah momentum. Kemudian momentum itu pergi tak mninggalkan jejak lagi. Tinggalah bongkahan ihwal yang diwariskan dari generasi ke generasi. Kejayaan tempo dulu, kini, sekedar mendongeng saja. Dan kita, kini, maukah dijejalsempalkan dengan cerita klasik itu? Sementara realita berbicara beda. Kini, Pramuka (berdasarkan subjektifitas saya), dipandang sebelah mata. Mulai dari hal yang sederhana, seragamnya, hingga yang paling dikhawatirkan, dekadensi intelektual.
Seragam Pramuka dan Kerja Nyata Pandega
Pramuka identik dengan tepuk tangan dan bernyanyi. Pun tidak lepas dari imej seragama coklatnya. Setidaknya itulah yang ada di benak teman-teman saya yang bukan anggota Pramuka. Pengkultusan ini membentuk branding absolutif bagi Pramuka. Di satu sisi, organisasi ini memiliki karakter dengan kekhasan seragamnya. Namun, di sisi lain, rasa kebanggaan itu semakin meluntur dengan diwajibkannya memakai seragam Pramuka tiap Sabtu bagi anak sekolah. Benarkah asumsi saya? Saya sangat ragu untuk mengatakan tidak!
Stigma ini harusnya ditanggapi dengan serius mengingat dewasa ini Pramuka harus berjejalan dengan organisasi senada. Toh, saat ini banyak yang menawarkan alternatif pilihan yang juga variatif. Pilihan-pilihan yang ditawarkan oleh organisasi tersebut tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi anggota Pramuka, jika tak mau ketinggalan. Atau jangan-jangan, selama ini, kita terjebak pada jargon Dasa Dharma dan Tri Satya, sehingga berdampak pada minimnya inovasi yang bisa dilakukan. Continue reading “Pandega, Riwayatmu Kini”